Kerajaan-kerajaan Budha
Sejarah
Kerajaan Kalingga
sumber : https://image.slidesharecdn.com/kelompokbudha-140911085826-phpapp02/95/kerajaan-budha-di-indonesia-30-638.jpg?cb=1410426435
dimulai terhadap abad
ke-6 serta merupakan sesuatu kerajaan dengan gaya India yang berada di pesisir
utara Jawa Tengah. Belum dikenal secara pasti dimana pusat kerajaan ini berada,
tetapi sebagian ahli memprediksikan jikalau tempatnya adanya di antara tempat
yang kini menjadi Pekalongan serta Jepara. tak banyak yang bisa dikenal dari
kerajaan ini pasal asal pati sejarah yang adanya juga hampir nihil serta
mayoritas catatan mengenai sejarah kerajaan Kalingga didapat dari kisah-kisah
Tiongkok, kisah turun-temurun rakyat sekitar, serta Carita Parahyangan yang
menceritakan mengenai Ratu Shima dan hubungan ratu tersebut dengan kerajaan
Galuh. Ratu Shima juga diketahui pasal peraturannya yang sadis dimana siapapun
yang tertangkap basah merampok akan dipotong tangannya.
Awal Berdirinya
Kerajaan Kalingga diramalkan dimulai terhadap abad ke-6 hingga abad ke-7. Nama
Kalingga sendiri berasal dari kerajaan India langka yang bernama Kaling,
mengidekan jikalau adanya tautan antara India serta Indonesia. Bukan cuma
lokasi pasti ibu kota dari area ini saja yang tak diketahui, tetapi juga
catatan sejarah dari periode ini amatlah kuno. Salah satu tempat yang dicurigai
menjadi lokasi ibu kota dari kerajaan ini adalah Pekalongan serta Jepara.
Jepara dicurigai pasal ada kabupaten Keling di pantai utara Jepara, sedangkan
Pekalongan dicurigai pasal waktu lalunya terhadap saat awal dibangunnya
kerajaan ini adalah sesuatu pelabuhan kuno. sebagian orang juga memiliki ide
jikalau Pekalongan merupakan nama yang sudah berubah dari Pe-Kaling-an.
Pada tahun 674,
kerajaan Kalingga dipimpin oleh Ratu Shima yang populer akan peraturan kejamnya
pada pencurian, dimana Perihal tersebut mendorong orang-orang Kalingga menjadi
jujur serta senantiasa memihak terhadap kebenaran. rujukan oleh cerita-cerita
yang berkembang di masyarakat, terhadap suatu hari seorang raja dari negara
yang asing datang serta meletakkan sesuatu kantung yang terisi dengan emas
terhadap persimpangan jalan di Kalingga buat menguji kejujuran serta kebenaran
dari orang-orang Kalingga yang terkenal. Dalam sejarahnya terhitung jikalau tak
adanya yang berani menyentuh kantung emas yang bukan milik mereka, paling tak
sepanjang tiga tahun hingga akhirnya anak dari Shima, sang putra mahkota secara
tak sengaja menyentuh kantung tersebut dengan kakinya. Mendengar Perihal
tersebut, Shima dengan cepat menjatuhkan hukuman meninggal kepada anaknya
sendiri. Mendengar hukuman yang dijatuhkan oleh Shima, sebagian orang memohon
supaya Shima cuma memotong kakinya pasal kakinya lah yang bersalah. Dalam
sebagian cerita, orang-orang tadi bahkan meminta Shima cuma memotong jari dari
anaknya.
Dalam salah satu
kejadian terhadap sejarah kerajaan Kalingga, terkandung sesuatu titik balik
dimana kerajaan ini terislamkan. terhadap tahun 651, Ustman bin Affan
mengirimkan sebagian utusan menuju Tiongkok bersetara dengan mengemban misi
buat memperkenalkan Islam kepada area yang asing tersebut. disamping ke
Tiongkok, Ustman juga mentransfer sebagian orang utusannya menuju Jepara yang
dulu bernama Kalingga. kehadiran utusan yang berlangsung terhadap waktu sehabis
Ratu Shima turun serta digantikan oleh Jay Shima ini mengakibatkan sang raja
memeluk agama Islam serta juga diikuti jejaknya oleh sebagian bangsawan Jawa
yang mulai tidak membawa agama asli mereka serta menganut Islam.
Seperti keseringan
kerajaan lainnya di Indonesia, kerajaan Kalingga juga merasakan ketertinggalan
saat kerajaan tersebut runtuh. Dari semua peninggalan yang berhasil diciptakan
ialah 2 candi bernama candi Angin serta candi Bubrah. Candi Angin serta Candi
Bubrah merupakan dua candi yang diciptakan di Keling, tepatnya di desa Tempur.
Candi Angin menemukan namanya pasal mempunyai letak yang tinggi serta berusia
lebih tua dari Candi Borobudur. Candi Bubrah, di lain sisi, merupakan sesuatu
candi yang baru setengah jadi, tetapi umurnya setara dengan candi Angin.
Kerajaan Kalingga
diketahui juga dengan nama kerajaan Ho-ling oleh orang-orang Tionghoa. rujukan
oleh catatan bangsa Tionghoa, Ho-ling diyakini timbul ketika berlangsung
ekspansi besar oleh dinasti Syailendra. cerita mengenai kerajaan Ho-ling mulai
ditulis dalam kronik dinasti Tang yang adanya terhadap tahun 618 hingga 906.
rujukan oleh kronik tadi, orang-orang Ho-ling diyakini gemar makan cuma
memakaikan tangan serta dengan tidak sendok ataupun sumpit. Tertulis juga di
kroik tadi jikalau para masyarakat Ho-ling suka mengonsumsi tuwak, sesuatu sari
buah yang difermentasikan. Ibu kota dari Ho-ling dikelilingi oleh pagar kayu,
serta sang raja tinggal di sesuatu istana berlantai 2 serta daun palma sebagai
atapnya. Sang raja duduk terhadap sesuatu kursi yang terbuat dari gading serta
memakaikan keset yang terbuat dari bambu. Ho-ling juga diceratakan mempunyai
sesuatu bukit yang ia namakan Lang-pi-ya. sebagian asal pati lain dari catatan
Tionghoa mencatat sesuatu analisis mengenai lokasi dari kerajaan Ho-ling ini.
Ia mencatat jikalau Ho-ling berlokasi di Jawa Tengah serta jikalau La-pi-ya
menghadap ke arah samudra bikin lokasi Ho-ling jadi agak lebih gampang
diketahui.
Raja atau ratu yang
saat itu memegang kepala pemerintahan Ho-ling tinggal di kota bernama She-p’o,
tetapi Ki-yen setelah itu memindahkan lokasi pemerintahan menuju
P’o-lu-Chia-ssu. rujukan oleh catatan, diramalkan jikalau adanya kebingungan
yang meliputi masa-masa terakhir kerajaan Ho-ling atau Kalingga ini. adanya dua
teori besar mengenai Perihal ini, dimana teori yang pertama ialah ketika
Sanjaya yang masih merupakan cucu dari Shima mengambil alih pemerintahan. Ia
mengganti kerajaan Kalingga yang bercorak Buddha menjadi kerajaan Mataram yang
mempunyai corak hindu. kisah lain mengenai sejarah kerajaan Kalingga adalah
mengenai bagimana Patapan yang merupakan salah satu pangeran dari dinasti
Sanjaya merebut kursi penguasa serta menjadi raja terhadap tahun 832, dimana
Mataram terus menjadi pengemulasi aturan-aturan Sailendra.
Ratu Sima ialah penguasa di
Kerajaan Kalingga. Ia digambarkan sebagai seorang pemimpin perempuan yang tegas
serta taat pada peraturan yang berlaku dalam kerajaan itu. Ratu sima memerintah
sekitar tahun 674-732 m
Kehidupan
ekonomi kerajaan Kalingga
Perekonomian kerajaan
kalingga bertumpu terhadap sector perdagangan serta pertanian. lokasinya yang
dekat dengan pesisir pantai utara jawa tengah mengakibatkan kalingga gampang di
akses oleh pedagang luar negerikalingga. merupakan area penghasil kulit penyu,
emas, perak, culabadak,dan gading gajah buat dijual. warga kalingga diketahui
pandai bikin minuman yang berasal dari bunga kelapa serta bunga aren.
Kehidupan
sosial kerajaan kalingga
Kerajaan kalingga hidup
dengan teratur,berkat kepemimpinan ratu sima ketentraman serta ketertiban di
kerajaan kalingga terjadi dengan baik. Dalam menegakkan hukum, ratu sima tak
membeda-bedakan antara rakyat dengan kerabatnya sendiri. Berita mengenai
ketegasan hukum ratu sima, raja yang bernama T-shih ia ialah kaum muslim arad
serta persia, ia menguji kebenaran berita yang ia dengarbeliau. memerintahkan
anak buahnya buat meletakkan satu kantong emas di jalan wilayah kerajaan
kalingga. sepanjang tiga tahun kantong tersebut tak adanya yang menyentuh, bila
adanya yang menatap kantong itu ia berupaya menyingkir.
Tetapi terhadap suatu
hari, putra mahkota tak sengaja menginjak kantong tersebut hingga isinya
berceceran. Mendengar kejadian tersebut ratu sima marah, serta memerintahkan
supaya putra mahkota dihukum mati. tapi pasal para menteri memohon supaya putra
mahkota memperoleh pengampunan. Akhirnya ratu sima cuma memerintahkan supaya
jari putra mahkota yang menyentuh kantong emas tersebut di potong,hal ini
menjadi evidensi ketegasan ratu sima.
Kehidupan
politik kerajaan kalingga
Pada abad ketujuh
masehi kerajaan kalingga dipimpin oleh ratu sima, hukum di kalingga ditegakkan
dengan baik sehingga ketertiban serta ketentraman di kalingga berjalan dengan
baik. Menurut naskah parahhayang, Ratu sima mempunyai cucu bernama sanaha yang
menikah dengan Raja Brantasenawa dari kerajaan galuh. Sanaha mempunyai anak
bernama sanjaya yang kelas akan menjadi raja mataram kuno. Sepeninggalan Ratu
sima, kerajaan Kalingga ditaklukan oleh kerajaan Sriwijaya.
Sewaktu kepemimpinan
Ratu sima menjadi waktu keemasan bagi kerajaan kalingga sehingga bikin
raja-raja dari kerajaan lain segan, hormat, kagum, dan merupakan juga
penasaran. waktu waktu itu ialah waktu keemasan bagi pernyebaran kebudayaan
apapun. Agama buddha juga berkembang secara harmonis, sehingga wilayah di
sekitar kerajaan Ratu Sima juga kerap dikatakan Di Hyang(tempat bersatunya dua
kepercayaan hindu serta buddha).
Dalam bercocok tanam
Ratu Sima mengadopsi proses pertanian dari kerajaan kakak mertuanya. Ia
merancang proses pengairan yang dikasi nama subak. Kebudayaan baru ini yang
setelah itu melahikan istilah Tanibhala, atau masyarakat yang mengolah mata
pencahariannya dengan metode bertani atau bercocok tanam.
Sejarah
Kerajaan Sriwijaya
sumber : https://image.slidesharecdn.com/perkembangankerajaanhindubudha1-150422214926-conversion-gate01/95/perkembangan-kerajaan-hindu-budha-1-8-638.jpg?cb=1429757445
Kerajaan Sriwijaya
diambil dari dua suku kata yakni Sri yang artinya adalah gemilang atau
bercahaya dan wijaya yang artinya adalah kemenangan. Jika digabungkan,
Sriwijaya artinya adalah kemenangan yang bergemilang. Mengingat bahwa kerajaan
ini begitu terkenal hingga mendunia, tak heran jika Sriwijaya disebut dengan
nama yang berbeda di berbagai negara. Dalam bahasa Pali dan Sansekerta,
Sriwijaya dikenal dengan sebutan Javadeh dan Yavadesh. Di Tionghoa, Kerajaan
Sriwijaya disebut dengan nama San-fo-ts’i, San FoQi atau Shih-li-fo-shih.
Sedangkan bangsa Arab mengenal kerajaan Sriwijaya dengan sebutan Sribuzaatau
Zabaj.
Sejarah Kerajaan
Sriwijaya semakin terkenal hingga generasi sekarang karena masa kejayaannya
yang sangat luar biasa pada abad sekitar 9 sampai dengan 10 Masehi. Pada masa
itu, Kerajaan Sriwijaya diketahui menguasai jalur perdagangan melalui laut atau
maritim di wilayah Asia Tenggara. Dalam dunia maritim, Sriwijaya telah berhasil
melakukan kolonisasi dengan hampir semua kerajaan-kerajaan besar yang ada di
Asia Tenggara. Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya sudah menyentuh tanah Sumatera,
Semenanjung Malaya, Jawa, Thailand, Vietnam, Filipina hingga Kamboja. Kekuasaan
kerajaan Sriwijaya tersebut meliputi pengendalian rute kegiatan perdagangan
lokal dan rempah. Dimana mereka mengenakan bea cukai terhadap semua kapal yang
lewat. Tak hanya mengumpulkan kekayaan dari maritim, Kerajaan Sriwijaya juga
mengumpulkan kekayaan melalui gudang perdagangan untuk pasar India dan
Tiongkok.
Sejarah Kerajaan
Sriwijaya sendiri tidak banyak yang menerangkan kapan sebenarnya kerajaan ini
berdiri. Pasalnya bukti tertua justru berasal dari Cina. Dimana pada tahun 682
M, ada seorang pendeta asal Tiongkok bernama I-Tsingingin mendalami agama Budha
di wilayah India, lalu singgah untuk mempelajari bahasa Sansekerta di Sriwijaya
selama bulan. Pada saat itu, tercatat pula bahwa kerajaan Sriwijaya dikuasai
oleh Dapunta Hyang. Disamping berita dari Cina, bukti keberadaan Sriwijaya juga
tertulis dalam beberapa prasasti. Salah satunya adalah Prasasti di Palembang
yakni prasasti Kedukan Bukit (605S/683M). Dalam prasasti tersebut, diketahui
bahwa Dapunta Hyang telah melakukan ekspansi selama 8 hari dengan
mengikutsertakan 20.000 tentara dan berhasil menguasai dan menaklukan beberapa
daerah. Mulai dari kemenangan tersebut, kerajaan Sriwijaya semakin makmur dan
sejahtera. Jika melihat bukti dari Cina dan prasasti di Palembang tersebut,
para ahli menyimpulkan bahwa raja pertama Kerajaan Sriwijaya adalah Dapunta
Hyang, dan kerajaan ini mulai berdiri sekitar abad ke-7.
Bukti-Bukti
Sejarah Kerajaan Sriwijaya
Nama Sriwijaya sudah
terkenal dalam perdagangan internasional. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan
adanya berbagai sumber yang menerangkan mengenai keberadaan Kerajaan Sriwijaya,
seperti di bawah ini. Dari berita Arab diketahui bahwa pedagang Arab melakukan
kegiatan perdagangan di Kerajaan Sriwijaya, bahkan disekitar Sriwijaya
ditemukan peninggalan bekas perkampungan orang Arab. Dari berita India
diketahui bahwa Keraaan Sriwijaya pernah menjalin hubungan dengan Kerajaan
India, seperti Nalanda dan Colamandala bahkan Kerajaan Nalanda mendirikan
prasasti yang menerangkan tentang Sriwijaya.
Dari berita Cina
diketahui bahwa para pedagang Cina sering singgah di Kerajaan Sriwijaya sebelum
melanjutkan perjalanan ke India dan Arab. Berita Cina juga menyebutkan pada
abad ke-7 di Sumatra telah ada beberapa kerajaan, antara lain Kerajaan Tulang
Bawang di Sumatra Selatan, Melayu di Jambi, dan Sriwijaya. Keberadaan Kerajaan
Sriwijaya ini dapat diperoleh informasinya, misalnya, dari cerita pendeta
Buddha dari Tiongkok, I-tsing. Pada tahun 671, Ia berangkat dan Kanton ke
India, kemudian singgah terlebih dahulu di Sriwijaya selama enam bulan untuk
belajar tata bahasa Sanskerta. Pada tahun 685, dia kembali ke Sriwijaya dan
menetap selama empat tahun untuk menerjemahkan berbagai kitab suci Buddha dan
bahasa Sanskerta ke bahasa Tionghoa. Karena dalam kenyataannya, dia tidak dapat
menyelesaikan sendiri pekerjaan itu, maka pada tahun 689, dia pergi ke Kanton
untuk mencari pembantu dan segera kembali lagi ke Sriwijaya. Selanjutnya, baru
pada tahun 695, I-tsing pulang ke Tiongkok.
Raja-raja
Kerajaan Sriwijaya
Raja-raja yang berhasil diketahui
pernah memerintah Kerajaan Sriwijaya adalah sebagai berikut:
Raja
Daputra Hyang,
Berita mengenai raja ini diketahui melalui prasasti Kedukan Bukit (683 M). Pada
masa pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang telah berhasil memperluas wilayah
kekuasaannya sampai ke wilayah Jambi. Sejak awal pemerintahannya, Raja Dapunta
Hyang telah bercita-cita agar Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan bercorak
maritim.
Raja
Dharmasetu Pada
masa pemerintahan Raja Dharmasetu, Kerajaan Sriwijaya berkembang sampai ke
Semenanjung Malaya. Bahkan, disana Kerajaan Sriwijaya membangun sebuah
pangkalan di daerah Ligor. Selain itu, Kerajaan Sriwijaya juga mampu menjalin
hubungan dengan China dan India. Setiap kapal yang berlayar dari India dan
China selalu singgah di Bandar-bandar Sriwijaya.
Raja
Balaputradewa Berita
tentang raja Balaputradewa diketahui dari keterangan Prasasi Nalanda.
Balaputradewa memerintah sekitar abad ke-9, pada masa pemerintahannya, kerajaan
Sriwijaya berkembang pesat menjadi kerajaan yang besar dan menjadi pusat agama
Buddha di Asia Tenggara. Ia menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di
India seperti Nalanda dan Cola. Balaputradewa adalah keturunan dari dinas
Syailendra, yakni putra dari Raja Samaratungga dengan Dewi Tara dari Sriwijaya.
Raja
Sri Sudamaniwarmadewa:
Pada masa pemerintahan Raja Sri Sudamaniwarmadewa, Kerajaan Sriwijaya pernah
mendapat serangan dai Raja Darmawangsa dari Jawa Timur. Namun, serangan
tersebut berhasil digagalkan oleh tentara Sriwijaya.
Raja
Sanggrama Wijayattunggawarman:
Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Sriwijaya mengalami serangan dari Kerajaan
Chola. Di bawah pimpinan Raja Rajendra Chola, Kerajaan Chola melakukan serangan
dan berhasil merebut Kerajaan Sriwijaya. Sanggrana Wijayattunggawarman akhirnya
ditawan. Namun pada masa pemerintahan Raja Kulottungga I Kerajaan Chola, Raja
Sanggrama Wijayattunggawarman kemudian dibebaskan kembali.
Masa
Keemasan Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya
mengalami zaman keemasan pada saat diperintah oleh Raja Balaputradewa pada abad
ke-9. Wilayah Kerajaan Sriwijaya meliputi hampir seluruh Sumatra, Kalimantan
Barat, Jawa Barat, dan Semenanjung Melayu. Oleh karena itu, Kerajaan Sriwijaya
disebut kerajaan Nusantara pertama. Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan maritim,
pusat agama Buddha, pusat pendidikan, dan sebagai pusat perdagangan di Asia
Tenggara. Kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim karena mempunyai angkatan
laut yang tangguh dan wilayah perairan yang luas. Karena begitu luas
wilayahnya, maka Kerajaan Sriwijaya disebut Kerajaan Nusantara pertama.
Kerajaan Sriwijaya
sebagai pusat pendidikan penyebaran agama Buddha, dengan bukti catatan I-tsing
dari China pada tahun 685 M, yang menyebut Sriwijaya dengan She-le-fo-she. Kerajaan
Sriwijaya sebagai pusat perdagangan karena Palembang sebagai jalur perdagangan
nasional dan internasional. Banyak kapal yang singgah sehingga menambah
pemasukan pajak.
Kemunduran
Kerajaan Sriwijaya
Beberapa faktor penyebab kemunduran
Kerajaan Sriwijaya di antaranya adalah sebagai berikut:
Faktor
geografis, berupa
perubahan letak Kerajaan Sriwijaya. Perubahan ini erat kaitannya dengan
pengendapan lumpur Sungai Musi yang mengakibatkan letak ibu kota Kerajaan
Sriwijaya tidak lagi dekat dengan pantai. Akibatnya ibu kota Sriwijaya kurang
diminati lagi oleh pedagang internasional.
Lemahnya
kontrol pemerintahan pusat
sehingga banyak daerah yang melepaskan diri.
Berkembangnya
kekuatan politik di Jawa dan India.
Sriwijaya mendapat serangan dari Raja Rajendracola dari Colamandala tahun 1017
dan 1025. Pada tahun 1025, serangan itu diulangi sehingga Raja Sriwijaya, Sri
Sanggramawijayattunggawarman ditahan oleh pihak Kerajaan Colamandala. Tahun
1275, Raja Kertanegara dari Singosari melakukan ekspcdisi Pamalayu. Hal itu
menyebabkan daerah Melayu lepas dari kekuasaan Sriwijaya. Akhir dari Kerajaan
Sriwijaya terjadi saat armada laut Majapahit menyerang Sniwijaya tahun 1377.
Sejarah
Kerajaan Mataram
sumber : https://image.slidesharecdn.com/mataramislam-160902142044/95/presentasi-sejarah-sma-kelas-x-kerajaan-mataram-islam-4-638.jpg?cb=1472826227
Sekitar abad ke-8 di
Jawa Tengah berdiri Kerajaan Mataram. Munculnya kerajaan ini diterangkan dalam
prasasti yang ditemukan di daerah Canggal, di barat daya Magelang. Dalam
prasasti canggal diterangkan bahwa Raja Sanjaya telah mendirikan lingga di atas
bukit Kunjarakunja (di gunung Wukir) pada tahun 732 masehi. jawa (Mataram) yang
kaya akan padi dan emas, mula-mula diperintah oleh Raja Sanna. Setelah Raja
Sanna meninggal, negara pecah karena kehilangan pelindung. Penggantinya ialah
Raja sanjaya anak Sannaha, saudara perempuan Raja Sanna. Raja Sanjaya berhasil
menaklukkan beberapa daerah sekitarnya dan menciptakan kemakmuran bagi
rakyatnya.
Riwayat berdirinya
kerajaan Mataram tersurat pula dalam kitab Carita Parahiyangan. Di dalam Carita
Parahiyangan diceritakan bahwa Sanna terpaksa turun takhta karena dikalahkan
Rahyang Purbasora di Galuh. Ia dan para prajuritnya menyingkir ke lereng Gunung
Merapi. Tidak lama anak sannaha, yaitu Sanjaya berhasil membalas kekalahan Raja
Sanna. Ia kemudian menguasai Galuh kembali dan menaklukkan Kerajaan-kerajaan
kecil di Jawa Barat bagian Timur dan Jawa tengah. Setelah itu Sanjaya
mendirikan Kerajaan Mataram yang beribukota di Medang ri Poh pada tahun 717 M.
Kerajaan Mataram
diperintah oleh raja-raja dari dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra. Dinasti
Sanjaya adalah raja-raja keturunan Sanjaya yang menganut agama hindu, sedangkan
dinasti Syailendra adalah raja-raja yang diduga berasal dari India Selatan atau
Kamboja yang menganut agama Buddha Mahayana. Menurut beberapa ahli sejarah,
antara kedua dinasti terjadi persaingan sehingga mereka secara bergantian
memerintah Mataram. Di dalam prasasti Mantyasih (907 M) dan prasasti wanua
Tengah III (908 M) disebutkan nama-nama Raja Mataram sebagai berikut.
1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya
(717-746 M)
2. Rakai Panangkaran Dyah Sankhara
(746-784 M)
3. Rakai Panunggalan/Dharanindra
(784-803 M)
4. Rakai Warak Dyah manara (803-827
M)
5. Dyah Gula (827-828)
6. Rakai Garung (828-847 M)
7. Rakai Pikatan Dyah Saladu
(847-855 M)
8. Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala
(855-885 M)
9. Dyah Tagwas (885)
10. Rakai Panumwangan Dyah Dawendra
(885-887 M)
11. Rakai Gurunwangi Dyah Wadra
(887 M)
12. Rakai watuhumalang Dyah Jbang
(894-898 M)
13. Rakai watukura Dyah Walitung
(898-913 M)
Raja Sanjaya meninggal
pada tahun 746 M. Ia diganti oleh Rakai Panangkaran. Pada masa pemerintahan
Rakai Panangkaran agama Buddha mulai berkembang di Mataram. Dalam prasasti
Sankhara (sekitar abad ke-8) yang ditemukan di Sragen (Jawa Tengah), tertulis
bahwa Rakai Panangkran telah berpindah dari agama Siwa ke agama Buddha. Ia
mendirikan candi Kalasan untuk menghormati dewi Tara. Ia juga membangun biara
untuk para bhiksu dan bhiksuni buddha. Sejak saat itu keluarga kerajaan ada
yang beragama Hindu dan ada pula yang beragama Buddha. Mereka yang beragama
Hindu tinggal di jawa Tengah bagian utara, sedangkan yang menganut agama Buddha
berada di wilayah jawa Tengah bagian Selatan.
Agama Buddha mengalami
perkembangan yang amat pesat pada masa pemerintahan Samaratungga, anak dari
Rakai Panangkaran. Nama samaratungga tidak tercatat dalam silsilah Raja yang
tertuang dalam prasasti Mantyasih. Ia diketahui namanya dalam prasasti Nalanda
dan prasasti Kayumwungan (824 M). Pada tahun 824 Masehi, ia berhasil membangun
Candi Borobudur untuk para penganut agama Buddha. Bangunan ini terdiri atas 10
tingkat yang melambangkan makna bahwa kesempurnaan hidup akan dicapai setelah
melampaui 10 tingkatan.
Candi Borobudur menjadi
salah satu objek wisata Indonesia yang potensial. Keunikan dari candi tersebut
dapat dilihat dari relief, stupa, dan seni arsitektur yang menggunakan bahan
tanpa semen, hanya tumpukan batu-batu besar. Samaratungga mempunyai anak yang
bernama Pramodhawardani dan Balaputeradewa. Samaratungga menikahkan
ramodhawardani dengan Rakai Pikatan. Balaputeradewa tidak menyetujui perkawinan
tersebut karena terancam kedudukannya sebagai putera mahkota Syailendra. Oleh
karena itu, timbullah perselisihan antara Balaputeradewa dan Pramodhawardani
yang dibantu rakai Pikatan. Dalam pertikaian itu, Balaputeradewa menderita
kekalahan sehingga melarikan diri ke Sumatera. Kelak ia menjadi Raja Kerajaan
Sriwijaya.
Semenjak Rakai pikatan
berkuasa, Kerajaan Mataram menjadi damai dan makmur. Umat hindu dan buddha
hidup berdampingan dengan rukun dan damai. Toleransi kehidupan beragama
terwujud dalam pembangunan dan pemeliharaan candi-candi secara bergotong
royong. Kerajaan mataram kuno mencapai puncak kejayaannya pada masa
kepemimpinan Raja Balitung (898-910 M). Di masa kekuasaannya, daerah-daerah
disebelah timur Mataram berhasil ditaklukkannya. Oleh karena itu, daerah
kekuasaan Mataram semakin luas, yang meliputi Bagelen (Jawa Tengah) sampai
Malang (Jawa Timur).
Sepeninggal Raja
Balitung kerajaan Mataram kuno diperintah oleh raja-raja, yakni Daksa (910-919
M), Tulodong (919-924 M), dan Wawa (924-929 M). Namun, tidak ada sumber berarti
yang dapat menerangkan peran ketiga nama tersebut.
Pada tahun 929 pusat
kerajaan Mataram kuno dipindahkan ke Watugaluh (Jawa Timur) oleh Mpu Sindok. Ia
dianggap sebagai pendiri dinasti Isyana. Menurut para sejarawan, perpindahan
pusat kerajaan itu dilakukan karena wilayah Maram ditimpa bencana letusan
gunung berapi. Masa pemerintahan Mpu Sindok berlangsung aman dan tenteram. Mpu
Sindok seringkali memberikan bantuan bagi pembangunan tempat-tempat suci. Dalam
bidang sastra muncul kitab suci agama Buddha Tantrayana, yaitu sang Hyang
Kamahayanikan.
Pengganti Mpu sindok
ialah Raja Dharmawangsa. Demi berbuat bagi kesejahteraan hidup rakyatnya,
Dharmawangsa berupaya menguasai jalur perdagangan dan pelayaran yang saat itu
dikuasai oleh kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 990 ia mengirim tentaranya ke
Sumatera dan Semenanjung Malaka. Misi pasukannya berhasil menaklukkan beberapa
daerah pantai di Sriwijaya. Upaya Dharmawangsa diangggap telah membawa kemajuan
yang berarti bagi Kerajaannya.
Pada tahun 1016
kekuasaan Dharmawangsa dilanda malapetaka yang mengerikan. Ketika ia sedang
menikahkan putrinya dengan Airlangga (Putera mahkota kerajaan Bali), tiba-tiba
istana kerajaan diserang oleh tentara Wurawari, raja bawahan Dharmawangsa yang
dihasut Sriwijaya. Dalam peristiwa ini hampir semua pembesar kerajaan Mataram
kuno gugur. Peristiwa penyerbuan Raja Wurawati terhadap kekuasaan Raja
Dharmawangsa ini terkenal dengan sebutan Pralaya Medang.
Pada tahun 1019
Airlangga dinobatkan menjadi raja oleh para pendeta buddha dan para brahmana
dengan gelar sri Maharaja Rake Halu Sri lokeswara Dharmawangsa Airlangga
Anantawikramotunggadewa. Pada permulaan pemerintahannya, kerajaan diguncang
berbagai peperangan yang hebat. Perang yang berkecamuk, misalnya perang
menghadapi Raja Bhismaprabhawa, Raja Wengker, dan seseorang ratu di daerah
selatan Tulungagung. Semua peperangan ini dimenangkan pihak Airlangga. Bahkan
pada tahun 1033 Airlangga berhasil membalaskan kematian mertuanya dengan
mengalahkan Raja Wurawati. Sejak saat itu, Airlangga mempersatukan kerajaan
yang telah terpecah-pecah untuk memulai upaya pembangunan negerinya.
Pada bidang
pemerintahan, Airlangga melakukan perombakan dengan mengangkat orang-orang yang
berjasa kepadanya. Dalam bidang ekonomi, Airlangga memerintahkan membangun
waduk di daerah Sungai Brantas. Di bidang sastra, muncul karya-karya bermutu,
seperti kitab Arjunawiwaha karangan Mpu Kanwa. Di bidang sosial, banyak
dibangun tempat-tempat suci, pertapaan, dan asrama-asrama pendeta. Semua upaya
pembangunan negeri hanya ditujukan demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Airlangga merupakan
seorang raja yang bijaksana. Tatkala puteri mahkota, Sanggramawijaya Dharma
Prasadottuggadewi menolak menggantikan takhta Kerajaan, Airlangga tidak lantas
marah. Ia justru membangun sebuah pertapaan dii pucangan karena puterinya itu
memilih penghidupan sebagai petapa. Selanjutnya, Airlangga menemui kesulitan
yang disebabkan Putera Dharmawangsa, Samarawijya menuntut hak atas kerajaan
Mataram. Di lain pihak putera Airlangga yang kedua, yaitu Mapanji Garasakan
menginginkan pula takhta kerajaan. Hal ini mungkin berakibat timbulnya
perebutan kekuasaan.
Pada tahun 1041 M
Airlangga memutuskan untuk membagi kerajaannya menjadi dua. Pembagian kerajaan
itu dilakukan seorang brahmana yang terkenal kesaktiannya, yakni Mpu Barada.
Dua kerajaan itu ialah Janggala dengan ibukota kahuripan dan kerajaan Panjalu
dengan ibukota daha. Delapan tahun sesudah pembagian kerajaan, Airlangga wafat.
Rakyat kemudian membangun patung Airlangga yang mengendarai burung garuda
sebagai kenag-kenangan dan penghormatan atas jasa-jasa yang selama ini telah
dilakukan oleh Airlangga terhadap kerajaan
Raja-Raja
Kerajaan Mataram Islam
Kerajaan Mataram Islam sempat
dimpin oleh 6 orang raja, yaitu sebagai berikut :
1. Ki Ageng Pamanahan
Ki Ageng Pamanahan
merupakan pendiri dari desa Mataram pada tahun 1556. Desa inilah yang nantinya
akan menjadi Kerajaan Mataram yang dipimpin oleh anaknya, Sutawijaya.Tanah ini
awalnya hutan lebat yang lalu dibuka oleh masyarakat sekitar dan diberi nama
Alas Mentaok. Lalu Ki Ageng Pamanahan menjadikan bekas hutan ini sebagai sebuah
desa yang diberinama Mataram. Ki Ageng Pamanahan wafat pada tahun 1584 dan
dimakankan di Kota Gede (Jogjakarta sekarang)
2. Panembahan Senapati
Setelah ki Ageng wafat
pada tahun 1584, kekuasaan jatuh ke tangan anaknya yaitu Sutawijaya. Ia adalah
menantu dan anak angkat dari Sultan Pajang.Sutawijaya tadinya merupakan
senapati dari kerajaan Pajang. Karena itu ia diberi gelar “Panembahan Senapati”
karena masih dianggap sebagai senapati utama Pajang dibawah Sultan Pajang.
Kerajaan Mataram Islam
mulai bangkit dibawah kepemimpinan Panembahan Senapati. Kerajaan ini lalu
memperluas wilayah kekuasaannya dari Pajang, Demak, Tuban, Madiun, Pasuruan dan
sebagian besar wilayah Surabaya. Panempahan Senapati wafat pada tahun 1523,
lalu posisinya digantikan oleh anaknya yang bernama Raden Mas Jolang.
3. Raden Mas Jolang
Raden Mas Jolang atau
Panembahan Anyakrawati merupakan putra dari Panembahan Senapati dan putri Ki
Ageng Panjawi, penguasa Pati. Raden Mas Jolang Merupakan pewaris kedua dari
kerajaan Mataram Islam. Beliau memerintah dari tahun 1606 – 1613 atau selama 12
tahun.
Pada masa
pemerintahannya, banyak terjadi peperangan. Peperangan karena penaklukan
wilayah ataupun karena mempertahankan wilayah.Raden Mas Jolang wafat pada tahun
1613 di desa Krapyak. dimakamkan di makam Pasar gede di bawah makan ayahnya.
4. Raden Mas Rangsang
Raden Mas Rangsang
adalah raja ke 3 Kerajaan Mataram Islam dan merupakan putra dari Raden Mas
Jolang. Ia memerintah pada tahun 1613 – 1645. Pada masa pemerintahannya,
Kerajaan Mataram mencapai puncak kejayaannya. Raden Mas Rangsang bergelar
Sultan Agung Senapati Ingalaga Ngabdurrachman. Pada masa ini, Kerajaan Mataram
berhasil menguasai hampir seluruh Tanah Jawa seperti Jawa Tengah, Jawa Timur
dan sebagian Jawa Barat.
Selain melakukan
penaklukan wilayah dengan berperang melawan raja Jawa. Sultan Agung juga
memerangi VOC yang ingin merebut Jawa dan Batavia. Pada masa Sultan Ageng,
Kerajaan Mataram berkembang menjadi Kerajaan Agraris. Sultan Ageng wafat pada
tahun 1645 dan di makanmkan di Imogiri
5. Amangkurat
Sultan Amangkurat
merupakan anak dari Sultan Ageng. Ketika berkuasa, ia memindahkan pusat
kerajinan dari kota Gedhe ke kraton Plered pada tahun 1647. Sultan Amangkurat
berkuasa dari tahun 1638 sampai tahun 1647. Pada masa inilah Kerajaan Mataram
Islam terpecah. Ini dikarenakan sultan Amangkurat I menjadi teman dari VOC.
Sultan Amangkurat I meninggal pada tanggal 10 Juli 1677 dan dimakankan di
Telagawangi, Tegal. Sebelum meninggal, ia sempat menangkat Sunan Mataram atua Amangkurat
II sebagai penerusnya.
6. Amangkurat II
Amangkurat II atau
Raden Mas Rahmat merupakan pendiri dan raja pertama dari Kasunanan Kartasura.
Kasunanan Kartasura merupakan lanjutan dari Kerajaan Mataram Islam. Raden Mas
Rahmat memerintah dari tahun 1677 sampai tahun 1703. Beliau merupakan raja Jawa
pertama yang menggunakan pakaian eropa sebagai pakaian dinas. Karena itu rakyat
menjulukinya Sunan Amral (Admiral).
Masa
Kejayaan
Wangsa
Sanjaya
Kejayaan Mataram Kuno
sudah tampak sejak awal. Semua ini berkat jiwa kepemimpinan Sanjaya yang memang
layak menjadi raja. Sanjaya bukan sembarang raja yang hanya menginginkan
kekuasaan semata. Sanjaya adalah seorang raja yang juga memahami isi dari kitab
sucinya. Ia adalah seorang penganut Hindu Syiwa yang sangat taat.
Selama pemerintahan
Sanjaya, penduduk Mataram Kuno menghasilkan komoditi pertanian berupa olahan
padi yang digunakan sebagai pemenuh kebutuhan masyarakat di dalam maupun luar
kerajaan. Sanjaya sendiri tida pernah menunggu disuruh para Brahmana untuk membangun
pura-pura sebagai tempat suci peribadahan orang Hindu.
Meskipun sangat
mendukung perkembangan agama Hindu, namun Sanjaya merupakan raja yang bijak.
Beliau ini bercermin pada sejarah kerajaan Majapahit yang sukses menerapkan
sejarah bhinneka tunggal ika sesuai yang tercantum di kitab Negarakertagama.
Sanjaya menjembatani penduduk di Mataram Kuno yang ingin memeluk agama lain.
Waktu itu, hanya ada 2 agama besar yang memiliki banyak pengaruh terhadap
kehidupan masyarakat. Hanya ada Hindu dan Buddha.
Rakai
Panangkaran
Sifat Rakai Panangkaran
yang paling menonjol adalah pemberani. Ia telah melakukan banyak penaklukan
terhadap raja-raja kecil di sekitar wilayah Mataram Kuno. Rakai Panangkaran
menggantikan Ratu Sanjaya sebagai penguasa kerajaan Mataram Kuno. Di masa
pemerintahannya, kaum Hindu bertempat tinggal di Mataram Kuno bagian utara.
Sementara para pemeluk Buddha lebih nyaman menempati wilayah Jawa Tengah
sebelah selatan.
Perbedaan tempat ini
sengaja dilakukan agar kedua agama dapat hidup berdampingan, menjalankan
ibadahnya masing-masing, dan berinteraksi dengan orang-orang yang sama.
Keimanan akan semakin kuat karena seringnya bergaul dengan orang seagama. Namun
di luar urusan agama, setiap penduduk Mataram Kuno tetap menjalin hubungan
dagang dan pekerjaan lain seperti biasanya.
Rakai Panangkaran
merubah agamanya sendiri menjadi Buddha Mahayana. Sejak Rakai –sebutan Raja-
Panangkaran beralih agama, ia mendirikan wangsa baru yang dinamai Syailendra.
Dengan itu berarti ada wangsa kedua yang menguasai kerajaan Uniknya, para
penganut Hindu dan Buddha di Mataram Kuno selalu hidup aman dan nyaman. Para
penganut Hindu mendirikan candi peninggalan agama hindu seperti candi Dieng dan
Gedong Songo. Di belahan Mataram Kuno bagian selatan juga membangun candi peninggalan
buddha semacam Mendut, Prambanan dan Borobudur yang pernah masuk ke dalam 7
keajaiban dunia.
Memang pada
perkembangannya, kedua wangsa dan agama yang berbeda tersebut sempat berkelahi.
Permasalahannya ada pada hak meneruskan kekuasaan raja. Namun konflik klasik
ini dapat diatasi dengan keberanian Rakai Pikatan dari wangsa Sanjaya yang
memeluk Hindu menikahi Pramodhawardhani, putri Samarattungga yang memulai
pembangunan Borobudur dari Dinasti Syailendra. Akhirnya otomatis pula kedua
wangsa ini sama-sama kembali duduk di istana kerajaan. Kedua agama yang sempat
tak akur akhirnya kembali berbaikan.
Mataram Kuno terus
berkembang maju hingga kekuasaannya jatuh ke tangan Dyah Balitung. Dyah
Balitung bahkan mampu membalikkan keadaan yang semula tidak stabil menjadi
lebih baik. Ialah raja Mataram Kuno yang kembali mempersatukan Jawa di bawah
tundukan satu kerajaan. Kekuasaannya pun menyentuh hingga pulau Bali.
Masa
Keruntuhan
Keruntuhan Mataram Kuno
dipicu oleh perseteruan anggota keluarga. Semuanya bermula sejak Samarattungga
meninggal dunia. Istrinya yang bernama Dewi Tara memiliki anak, Balaputeradewa.
Balaputeradewa sebenarnya tidak terima atas kepemimpinana Rakai Pikatan sebagai
Raja Mataram Kuno. Balaputeradewa yang memang tidak berada di posisi bagus
nekad menunjukkan sikap perlawanan kepada kepemimpinan Rakai Pikatan. Kontan
saja Rakai Pikatan mengusir Balaputeradewa. Lelaki tersebut mencoba bertahan di
dekat Candi Prambanan dengan mendirikan Candi Boko. Sayangnya pertahanan
tersebut tidak dapat bertahan lama. Keadaan memaksanya melarikan diri ke luar
pulau Jawa. Ia memilih pulau Sumatera sebagai tempat pelariannya. Pada waktunya
nanti, Balaputeradewa malah menjadi raja di kerajaan Sriwijaya.
Lewat ketangguhan
kerajaan Sriwijaya, Balaputeradewa mencoba membalaskan sakit hatinya dulu. Di
masa pemerintahan sesudah Dyah Balitung, Mataram Kuno berkembang ke bawah.
Serangan dari kerajaan Sriwijaya semakin memperparah keadaan yang sebenarnya
sudah keteteran dengan adanya bencana alam yang menimpa kerajaan Mataram Kuno.
Mpu Daksa yang merasa
keturunan asli Sanjaya mengkudeta Dyah Balitung. Selanjutnya Mataram Kuno
semakin goyah dari dalam maupun luar. Peristiwa Mahapralaya yang
memporak-porandakan istana Mataram Kuno memaksa Mpu Sindok yang saat itu berperan
sebagai Rakryan I Hino memindahkan pusat kerajaan ke Jawa Timur. Diperkirakan
kota tepatnya adalah Jombang dan Madiun. Setelah perpindahan pusat kerajaan
itu, Sriwijaya semakin parah menginjak-injak kekuasaan Mataram Kuno. Melalui
sekutunya di Jawa, Sriwijaya mengakhiri kekuasaan Mataram Kuno di tahun 1016
Masehi sebagaimana yang disebutkan prasasti Pucangan.
Sejarah
Kerajaan Talaga
Kerajaan Talaga
Manggung adalah kerajaan yang didirikan Pada kira-kira sebelum abad ke-15, oleh
Sunan Talaga manggung putra Pandita Prabu Darmasuci putra Batara Gunung Picung
putera Suryadewata putera bungsu dari Maharaja Sunda yang bernama Ajiguna
Linggawisesa (1333-1340) di Galuh Kawali, Ciamis.
lokasinya kini di kewadanaan Talaga
adalah bekas salah satu kerajaan, yang terletak di Kabupaten Majalengka,
bertahta bernama Sunan Talaga Manggung, asal keturunan Raja Prabu Siliwangi
yang dimaksud mungkin Suryadewata putra Maharaja Ajiguna Linggawisesa. Kerajaan
di Sangiang. Dia mempunyai dua orang putra, satu laki-laki dan satu perempuan,
yang laki-laki bernama Raden Panglurah dan yang perempuan bernama Ratu Simbar
Kencana.
Silsilah
Kerajaan Talaga
Di Naskah Wangsakerta.
Prabu Ajiguna Linggawisesa, menikah dengan Ratna Umalestari, adiknya Prabu
Citraganda penguasa kerajaan Sunda Galuh tahun (1303-1311) Masehi. Pada masa
pemerintahan Prabu Ajiguna Linggawisesa, ibukota Kerajaan Sunda beralih, dari
Pakuan Bogor ke Kawali, Ciamis. Dari pernikahannya dengan Uma Lestari, Prabu
Ajiguna Linggawisesa memperoleh putera, di antaranya, Ragamulya Luhur Prabawa,
atau Aki Kolot (kelak menjadi raja pengganti) Prabu Ajiguna Linggawisesa, Dewi
Kiranasari, diperisteri oleh Prabu Arya Kulon, Suryadewata, leluhur Kerajaan
Talaga di Majalengka
Dengan kata lain, Prabu
Suryadewata adalah putra Prabu Ajiguna Linggawisesa penguasa Kerajaan Sunda,
yang ditempatkan di Kerajaan Talaga dan kelak akan melahirkan raja-raja di
Kerajaan Talaga sebagai negara bawahan Kerajaan Sunda Galuh dimana ayahnya
Prabu Ajiguna Linggawisesa dan kakaknya, Prabu Ragamulya Luhurprabawa alias Aki
Kolot (1340-1350) M berkuasa di Galuh Kawali Ciamis.
Kebataraan
Kemaharajaan Sunda
Daerah Kabataraan
adalah tahta suci yang lebih menitikberatkan pada bidang kebatinan, keagamaan
atau spiritual, dengan demikian seorang Batara selain berperan sebagai Raja
juga berperan sebagai Brahmana atau Resiguru. Seorang Batara di Kemaharajaan
Sunda mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan penting karena ia mempunyai
satu kekuasaan istimewa yaitu kekuasaan untuk mengabhiseka atau mentahbiskan atau
menginisiasi penobatan seorang Maharaja yang naik tahta Sunda.
Kabataraan Galunggung.
Didirikan oleh Batara Semplak Waja putera dari Sang Wretikandayun (670-702),
pendiri Kerajaan Galuh. Para Batara yang pernah bertahta di Galunggung antara
lain:
Batara Semplak Waja,
Batara Kuncung Putih,
Batara Kawindu,
Batara Wastuhayu, dan
Batari Hyang.
Berdasarkan keterangan
Prasasti Geger Hanjuang, Batari Hyang dinobatkan sebagai penguasa Galunggung
pada tanggal 21 Agustus 1111 M atau 13 Bhadrapada 1033 Caka. Kabataraan
Galunggung adalah cikal bakal Kerajaan Galunggung yang dikemudian hari menjadi
Kabupaten Sukapura (Tasikmalaya).
Kebataraan Gunung
Sawal. Pendiri Kerajaan Panjalu adalah Batara Tesnajati yang petilasannya
terdapat di Karantenan Gunung Sawal. Mengingat gelar Batara yang disandangnya,
maka kemungkinan besar pada awal berdirinya Panjalu. Besar kemungkinan setelah
berakhirnya periode Kabataraan Galunggung itu kekuasaan kabataraan di
Kemaharajaan Sunda dipegang oleh Batara Tesnajati dari Karantenan Gunung Sawal
Panjalu. Adapun para batara yang pernah bertahta di Karantenan Gunung Sawal
adalah :
Batara Tesnajati
Batara Layah dan
Batara Karimun Putih.
Pada masa kekuasaan
Prabu Sanghyang Rangga Gumilang atau Sanghyang Rangga Sakti putera Batara
Karimun Putih, Panjalu berubah dari kabataraan menjadi sebuah daerah Kerajaan
Panjalu. Kabataraan Gunung Tembong Agung. Kabataraan Sunda dilanjutkan oleh
Batara Prabu Guru Aji Putih di Gunung Tembong Agung, Prabu Guru Aji Putih
adalah seorang tokoh yang menjadi perintis Kerajaan Sumedang Larang. Prabu Guru
Aji Putih digantikan oleh puteranya yang bernama Batara Prabu Resi Tajimalela,
menurut sumber sejarah Sumedang Larang, Prabu Resi Tajimalela hidup sezaman
dengan Maharaja Sunda Galuh yang bernama Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350) di
Galuh Kawali. Prabu Resi Tajimalela digantikan oleh puteranya yang bernama
Prabu Resi Lembu Agung, kemudian Prabu Resi Lembu Agung digantikan oleh adiknya
yang bernama Prabu Gajah Agung yang berkedudukan di Ciguling. Dibawah
pemerintahan Prabu Gajah Agung, Sumedang Larang bertransisi dari daerah
kabataraan menjadi Kerajaan Sumedang Larang.
Kabataraan Gunung
Picung. Kekuasaan kabataraan di Kemaharajaan Sunda (Sunda Kingdoms) kemudian
dilanjutkan oleh Batara Gunung Picung yang menjadi cikal bakal Kerajaan Talaga
(Majalengka). Batara Gunung Picung adalah putera Suryadewata, sedangkan
Suryadewata adalah putera bungsu dari Maharaja Sunda yang bernama Ajiguna
Linggawisesa (1333-1340). Batara Gunung Picung digantikan oleh puteranya yang
bernama Pandita Prabu Darmasuci, sedangkan Pandita Prabu Darmasuci kemudian
digantikan oleh puteranya yang bernama Begawan Garasiang. Begawan Garasiang
digantikan oleh adiknya sebagai Raja Talaga yang bernama Sunan Talaga Manggung
dan sejak itu pemerintahan Talaga digelar selaku kerajaan Talaga.
Kerajaan
Talaga
Raden Panglurah. Dia
tidak ada di keraton sedang melakukan tetapa di Gunung Bitung sebelah selatan
Talaga. Ratu Simbar Kencana mempunyai suami kepala seorang patih di keraton
tersebut, yang bernama Palembang Gunung, berasal dari Palembang. Patih
Palembang Gunung setelah dirinya dipercaya oleh mertuanya, yaitu Sunan Talaga
Manggung dan ditaati oleh masyarakatnya, timbul pikiran yang murka ingin
menjadi seorang raja di Sangiang Talaga, dengan maksud akan membunuh mertuanya,
Sunan Talaga Manggung.
Setelah mendapat
keterangan dari seorang mantra yang bernama Citra Singa, bahwa sang raja sangat
gagah perkasa tidak satu senjata atau tumbak yang mampu mengambil patinya raja,
melainkan oleh suatu senjata tumbak kawannya raja sendiri ketika ia lahir, dan
oleh Citra Singa diterangkan bahwa yang dapat mengambil senjata itu hanya
seorang gendek kepercayaan raja yang bernama Centang Barang. Setelah
mendapatkan tombak tersebut, kemudian Palembang Gunung membujuk dengan perkataan
yang manis-manis dan muluk-muluk kepada Centang Barang untuk mengambil senjata
tersebut, dan melakukan pembunuhannya, bila berhasil akan diganjar kenaikan
pangkatnya. Kemudian setelah Centang Barang mendapatkan bujukan yang
muluk-muluk dari Palembang Gunung ia bersedia melakukan pembunuhan itu.
Pada suatu waktu
kira-kira jam lima pagi Sunan Talaga Manggung baru bangun dari tidurnya dan
menuju jamban, dia diintai oleh Centang Barang, kemudian di tempat yang gelap
ditumbak pada pinggang sebelah kiri, sehingga mendapat luka yang parah. Centang
Barang setelah melakukan lari jauh dan diburu oleh yang menjaga, tetapi sang
prabu bersabda, “Biarlah si Centang Barang jangan diburu, nanti juga ia celaka
mendapat balasan dari Dewa karena ia durhaka.” Setelah si Centang Barang keluar
dari keraton, ia menjadi gila, ia menggigit-gigit anggota badannya sampai ia
mati.
Palembanga Gunung
Mendapat kabar tentang peristiwa itu, lalu ia berangkat menengoknya, tetapi
keraton tidak ada, hilang dengan seisinya, hilang menjadi situ yang sekarang
dinamakan Situ Sangiang Talaga. Setelah keadaan keraton hilang, Patih Palembang
Gunung diangkat menjadi raja di Talaga. Lama kelamaan peristiwa itu terbongkar
dan ada di antaranya yang memberitahukan kepada Ratu Simbar Kencana, bahwa
kematian ayahandanya adalah perbuatan suaminya sendiri. Setelah mendapatkabar
itu maka Simbar Kencana membulatkan hati untuk membalas dendam kepada
suaminya.. Pada saat Palembang Gunung sedang tidur nyeyak di tikamnya, digorok,
oleh tusuk konde ratu Simbar Kencana, sehingga mati seketika itu juga.
Setelah gunung
palembang itu mati, kerajaan belum ada yang menjabatnya maka di angkat Raden
Panglurah yang baru pulang dari petapaan. Sedatangnya ke sangiang dia merasa
kaget karena keadaan keraton sudah musnah hanya tampak situ saja dan setelah
dia mendapat kabar dari orang yang bertemu di tempat itu bahwa keraton sudah
dipindah tempatkan ke Walang Suji (Desa Kagok).
Ratu Simbar Kencana. Ketika Ratu
Simbar Kencana sedang kumpulan dengan ponggawa, datanglah Raden Panglurah yang
menuju kepada Ratu Simbar Kencana dan kemudian oleh ratu Simbar Kencana
diterangkan atas kematian ayahandanya. Kemudian Raden Panglurah meminta agar
yang melanjutkan pemerintahan adalah Ratu Simbar kencana sendri.
Dan dia akan menyusul
ayahandanya dengan meminta empat dinas pahlawannya, setelah permintaan
dikabukannya, dia menuju Situ Sangiang dan setelah tiba di Situ Sangiang
tersebut dia beserta pengiringnya turun ke Situ Sangiang dan turut menghilang.
Setelah Palembang Gunung meninggal dunia, Ratu Simbar kencana menikah lagi
deangan Raden Kusumalaya Ajar Kutamangu, keturunan Galuh dan mempunyai putra
Sunan Parung, dan setelah Ratu Simbar Kencana meninggal dunia, kerajaan pun
diturunkannya kepada putranya Sunan Parung.
Sunan Parung. Sunan
Parung mempunyai putra istri bernama Ratu Parung, melanjutkan kerajaannya
dengan mempunyai suami Raden Rangga Mantri putranya Raden Munding Sari Agung,
keturunan Prabu Siliwangi atau Pajajaran. Rangga Mantri atau Prabu Pucuk Umum.
Dari waktu itu Raden Rangga Mantri dan Ratu Parung agamanya ganti menjadi Islam
dari semula beragama Budha, yang dikembangkan oleh Syarif Hidayatullah. Raden
Rangga Mantri setelah menjadi Islam namanya diganti Prabu Pucuk Ulum. Prabu
Pucuk Ulum mempunyai putra bernama Sunan Wanaperih yang akhirnya menjadi raja
bertempat di Walang Suji (Desa Kagok). Sunan Wanak Perih mempunyai putra Ampuh
Surawijaya Sunan Kidak. Setelah Sunan Wanak Prih Meninggal dunia tahta
kerajaannya diturunkan kepada Ampuh Surawijaya dan kerajaan dipindahkan dari
Walang Suji ke Talaga.
Ampuh Sura Wijaya
mempunyai putra bernama Sunan Pangeran Surawijaya, Sunan Ciburuy, diturunkan
kepada putranya Dipati Suarga. Dari putra Dipati Suarga diturunkan kepada
putranya Dipati Wiranata. Kemudian kerajaan itu diturunkan kepada putranya
bernama Raden Saca Eyang hingga abad ke tujuh belas. Kerajaan dipindahkan
(dihilangkan) karena penjajahan, dan pada waktu itu kerajaan di Talaga menjadi
Kabupaten. Raden Saca Nata Eyang meninggalkan kepangkatannya. Diturunkan kepada
putranya bernama Aria Secanata. Setelah itu Kabupaten dipindahkan ke Majalengka
bertempat di Sindangkasih.
Waktu Kabupaten
dipindahkan Bupati, Raden Sacanata menolak sampai dia pada waktu itu
dipensiunkan. Dia mempunyai putra bernama Pangeran Sumanegara. Pangeran
sumanegara mempunyai putri bernama Nyi Raden Angrek dan mempunyai suami bernama
Kertadilaga putra pangeran Kartanegara, Kamboja. Dari Kartadiliga mempunyai
putra bernama Natakusumah di Cikifai Talaga, sampai sekarang keturunanya masih
ada, menjaga (memelihara) barang-barang kuno keturunan Raja Talaga.
Barang-Barang kuno tersebut adalah Baju Kera, Arca, Gamelan, Tuah Meriam, Bedil
Sundut, dan perkkas lainya yang sekarang masih ada.
Pemerintahan
Kerajaan Talaga Manggung
Pemerintahan
Batara Gunung Picung
Kerajaan Hindu di
Talaga berdiri pada abad XIII Masehi, Raja tersebut masih keturunan Ratu Galuh
bertahta di Ciamis, dia adalah putera V, juga ada hubungan darah dengan
raja-raja di Pajajaran atau dikenal dengan Raja Siliwangi. Daerah kekuasaannya
meliputi Talaga, Cikijing, Bantarujeg, Lemahsugih, Maja dan sebagian Selatan
Majalengka. Pemerintahan Batara Gunung Picung sangat baik, agama yang dipeluk
rakyat kerajaan ini adalah agama Hindu. Pada masa pemerintahaannya pembangunan
prasarana jalan perekonomian telah dibuat sepanjang lebih 25 Km tepatnya Talaga
- Salawangi di daerah Cakrabuana. Bidang Pembangunan lainnya, perbaikan
pengairan di Cigowong yang meliputi saluran-saluran pengairan semuanya di
daerah Cikijing. Tampuk pemerintahan Batara Gunung Picung berlangsung dua
windu. Raja berputera enam orang yaitu :
Sunan Cungkilak,
Sunan Benda,
Sunan Gombang,
Ratu Panggongsong Ramahiyang,
Prabu Darma Suci, (Pengganti Batara
Gunung Picung)
Ratu Mayang Karuna.
Kemudian pemerintahannya kemudian
dilanjutkan oleh Prabu Darma Suci.
Pemerintahan
Prabu Darma Suci
Disebut juga Pandita
Perabu Darma Suci. Dalam pemerintahan raja ini Agama Hindu berkembang dengan
pesat abad ke-XIII. Nama dia dikenal di Kerajaan Pajajaran, Mataram, Jayakarta
sampai daerah Sumatera. Dalam seni pantun banyak diceritakan tentang kunjungan
tamu-tamu tersebut dari kerajaan tetangga ke Talaga, apakah kunjungan tamu-tamu
merupakan hubungan keluarga saja tidak banyak diketahui. Peninggalan yang masih
ada dari kerajaan ini antara lain Benda Perunggu, Gong, Harnas atau Baju Besi.
Pada abad XIIX Masehi dia wafat dengan meninggalkan dua orang putera yakni
Bagawan Garasiang dan Sunan Talaga Manggung
Pemerintahan
Begawan Garasiang
Tahta untuk sementara
dipangku oleh Begawan Garasiang namun dia sangat mementingkan kehidupan
spiritual sehingga akhirnya tak lama kemudian tahta diserahkan kepada adiknya
Sunan Talaga Manggung.Tak banyak yang diketahui pada masa pemerintahan raja ini
selain kepindahan dia dari Talaga ke daerah Cihaur Maja.
Pemerintahan
Sunan Talaga Manggung
Sunan Talaga Manggung
merupakan raja yang terkenal sampai sekarang karena sikap dia yang adil dan
bijaksana serta perhatian dia terhadap agama Hindu, pertanian, pengairan,
kerajinan serta kesenian rakyat. Hubungan baik terjalin dengan kerajaan
tetangga maupun kerajaan yang jauh, seperti misalnya dengan Kerajaan Majapahit,
Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Cirebon maupun Kerajaan Sriwijaya. Dia berputera
dua, yaitu Raden Pangrurah dan Ratu Simbarkencana. Raja wafat akibat penikaman
yang dilakukan oleh suruhan Patih Palembang Gunung bernama Centang Barang.
Kemudian Palembang Gunung menggantikan Sunan Talaga Manggung dengan beristrikan
Ratu Simbar Kencana. Tidak beberapa lama kemudian Ratu Simbar Kencana membunuh
Palembang Gunung atas petunjuk hulubalang Citrasinga dengan tusuk konde sewaktu
tidur. Dengan meninggalnya Palembang Gunung, kemudian Ratu Simbarkencana
menikah dengan turunan Panjalu bernama Raden Kusumalaya Ajar Kutamanggu dan
dianugrahi delapan orang putera di antaranya yang terkenal sekali putera
pertama Sunan Parung.
Pemerintahan
Ratu Simbarkencana
Sekitar awal abad XIV
Masehi, dalam tampuk pemerintahannya Agama Islam menyebar ke daerah-daerah
kekuasaannya dibawa oleh para Santri dari Cirebon.juga diketahui bahwa tahta
pemerintahan waktu itu dipindahkan ke suatu daerah disebelah Utara Talaga
bernama Walangsuji dekat kampung Buniasih.Ratu Simbarkencana setelah wafat
digantikan oleh puteranya Sunan Parung.
Pemerintahan
Sunan Parung
Pemerintahan Sunan
Parung tidak lama, hanya beberapa tahun saja. Hal yang penting pada masa
pemerintahannya adalah sudah adanya Perwakilan Pemerintahan yang disebut Dalem,
antara lain ditempatkan di daerah Kulur, Sindangkasih, Jerokaso Maja. Sunan
Parung mempunyai puteri tunggal bernama Ratu Sunyalarang atau Ratu Parung.
Putri Sunan Parung, yang bernama Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Santri
yang menjadi penerus Kerajaan Sumedang Larang
Pemerintahan
Ratu Sunyalarang
Sebagai puteri tunggal
dia naik tahta menggantikan ayahandanya Sunan Parung dan menikah dengan turunan
putera Prabu Siliwangi bernama Raden Rangga Mantri atau lebih dikenal dengan
Prabu Pucuk Umum. Pada masa pemerintahannya Agama Islam sudah berkembang dengan
pesat. Banyak rakyatnya yang memeluk agama tersebut hingga akhirnya baik Ratu
Sunyalarang maupun Prabu Pucuk Umum memeluk Agama Islam. Agama Islam
berpengaruh besar ke daerah-daerah kekuasaannya antara lain Maja, Rajagaluh dan
Majalengka. Prabu Pucuk Umum adalah Raja Talaga kedua yang memeluk Agama Islam.
Hubungan pemerintahan Talaga dengan Cirebon maupun Kerajaan Pajajaran baik
sekali. Sebagaimana diketahui Prabu Pucuk Umum adalah keturunan dari prabu
Siliwangi karena dalam hal ini ayah dia yang bernama Raden Munding Sari Ageung
merupakan putera dari Prabu Siliwangi. Jadi pernikahan Prabu Pucuk Umum dengan
Ratu Sunyalarang merupakan perkawinan keluarga dalam derajat ke-IV.Hal
terpenting pada masa pemerintahan Ratu Sunyalarang adalah Talaga menjadi pusat
perdagangan di sebelah Selatan. Ratu Sunyalarang saudara dengan Ratu Pucuk Umun
suami Pangeran Santri.
Pemerintahan
Rangga Mantri atau Prabu Pucuk Umum
Dari pernikahan Raden
Rangga Mantri dengan Ratu Parung (Ratu Sunyalarang putri Sunan Parung, saudara
sebapak Ratu Pucuk Umun suami Pangeran Santri) melahirkan enam orang putera
yaitu Prabu Haurkuning, Sunan Wanaperih, Dalem Lumaju Agung, Dalem Panuntun,
Dalem Panaekan. Akhir abad XV Masehi, penduduk Majalengka telah beragama Islam.
Dia sebelum wafat telah menunjuk putera-puteranya untuk memerintah di
daerah-daerah kekuasaannya, seperti halnya : Sunan Wanaperih memegang tampuk
pemerintahan di Walagsuji; Dalem Lumaju Agung di kawasan Maja; Dalem Panuntun
di Majalengka sedangkan putera pertamanya, Prabu Haurkuning, di Talaga yang
selang kemudian di Ciamis. Kelak keturunan dia banyak yang menjabat sebagai
Bupati.Sedangkan dalem Dalem Panaekan dulunya dari Walangsuji kemudian
berpindah-pindah menuju Riung Gunung, Sukamenak, Nunuk Cibodas dan Kulur. Prabu
Pucuk Umum dimakamkan di dekat Situ Sangiang Kecamatan Talaga.
Pemerintahan
Sunan Wanaperih
Terkenal Sunan
Wanaperih, di Talaga sebagai seorang Raja yang memeluk Agama Islam pun juga
seluruh rakyat di negeri ini semua telah memeluk Agama Islam. Dia berputera
enam orang, yaitu :
Dalem Cageur,
Dalem Kulanata,
Apun Surawijaya atau Sunan Kidul,
Ratu Radeya,
Ratu Putri,
Dalem Wangsa Goparana.
Diceritakan bahwa Ratu Radeya
menikah dengan Arya Saringsingan sedangkan Ratu Putri menikah dengan putra
Syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan bernama Sayid Faqih Ibrahim lebih dikenal
Sunan Cipager. Dalem Wangsa Goparana pindah ke Sagalaherang, kelak keturunan
dia ada yang menjabat sebagai bupati seperti Bupati Wiratanudatar I di
Cikundul. Sunan Wanaperih memerintah di Walangsuji, tetapi dia digantikan oleh
puteranya Apun Surawijaya, maka pusat pemerintahan kembali ke Talaga.
Putera Apun Surawijaya bernama
Pangeran Ciburuy atau disebut juga Sunan Ciburuy atau dikenal juga dengan
sebutan Pangeran Surawijaya menikah dengan putri Cirebon bernma Ratu Raja
Kertadiningrat saudara dari Panembahan Sultan Sepuh III Cirebon.Pangeran
Surawijaya dianungrahi 6 orang anak yaitu Dipati Suwarga, Mangunjaya, Jaya
Wirya, Dipati Kusumayuda, Mangun Nagara, Ratu Tilarnagara. Ratu Tilarnagara
menikah dengan Bupati Panjalu (Kerajaan Panjalu Ciamis) yang bernama Pangeran
Arya Sacanata yang masih keturunan Prabu Haur Kuning. Pengganti Pangeran
Surawijaya ialah Dipati Suwarga menikah dengan Putri Nunuk dan berputera dua
orang, yaitu Pangeran Dipati Wiranata, Pangeran Secadilaga atau pangeran Raji.
Pangeran Surawijaya wafat dan digantikan oleh Pangeran Dipati Wiranata dan setelah
itu diteruskan oleh puteranya Pangeran Secanata, Raga Sari yang menikah dengan
Ratu Cirebon mengantikan Pangeran Secanata. Arya Secanata memerintah ± tahun
1762; pengaruh V.O.C. sudah terasa sekali. Hingga pada tahun-tahun tersebut
pemerintahan di Talaga diharuskan pindah oleh V.O.C. ke Majalengka. Karena hal
inilah terjadi penolakan sehingga terjadi perlawanan dari rakyat
Talaga.Peninggalan masa tersebut masih terdapat di museum Talaga berupa pistol
dan meriam.
Situs
Dan Budaya Nunuk Baru, sejarah berdirinya Kerajaan Talaga Manggung
Desa Nunuk Baru berada
di wilayah Kecamatan Maja di sebelah Selatan
Kota Kabupaten Majalengka, sekaligus bisa menjadi jalur Alternatif dari
Kota Majalengka Menuju Kecamatan Talaga dan Kecamatan Bantarujeg.Di Desa Nunuk
Baru sendiri banyak makom keramat yang erat hubunganya dengan sejarah Kerajaan
Talaga Manggung (sekarang Talaga) dan untuk kekinian adalah berdirinya Kota
Majalengka, adapun Makam Keramat Tersebut di antaranya :
Makam
Pajaten atau Pajatian ( Makam Ibu Arya Saringsingan )
Makam pajaten terletak
disebelah barat Blok Nunuk dipinggir kali cisuluheun dilokasi sawah pajaten,
Ibu Arya adalah asli putri lahiran Nunuk yang menjadi Istri Kedua (Selir) Raja
Talaga yaitu Prabu Pucuk Umun. Adapun Hasil Pernikahan Prabu Pucuk Umun dengan
Ibu Arya telah melahirkan Seorang Putra yang Bernama Raden Arya Saringsingan
yang makamnya sekarang berlokasi di Desa Banjaran Girang. Raden Arya
Saringsingan diangkat Oleh raja Talaga sebagai Senopati/Panglima tertinggi
Kerajaan Talaga, yang mempunyai kesaktian Luar biasa dengan memegang senjata
Tombak Naga Kaki Lima Centang Barang.
Makam
Cileuweung ( Makam Hariyang Banga )
Makam cileuweung
terletak di sebelah Barat Daya Blok Nunuk Desa Nunuk Baru. Hariyang Banga
adalah Putra dari ibu Dewi Pangrenyep istri Raja Pajajaran, dicileuweung
sendiri ada tiga makam keramat di antaranya makam Mbah Hariyang Banga, Makam
Ibu Langensari, Makam Mbah Haji Kasakten. Dicileuweung sendiri dulunya ada sebuah
sendang/kolam mata air yang sampai sekarang air tersebut sering dikeramatkan
oleh sebagian masyarakat untuk maksud-maksud tertentu, di antaranya yang
mempunyai Niat berkecimpung di dunia Pemerintahan.
Makam
Kosambi (Makam Mbah Prabustika)
Makam kosambi terletak
dilokasi sawah kosambi sebelah timur Blok Nunuk, Nama asli Mbah Prabustika
adalah Mbah Jupri. Mbah Jupri adalah seorang kepala pemerintahan kerajaan yang
ada dilokasi Nunuk, dia adalah seorang ulama yang dihormati dan mempunyai
kesaktian sangat Tinggi. Singkat cerita Mbah Jupri ditangkap oleh musuh
kemudian dikampa/jepit oleh jepitan minyak sampai dianggap telah meninggal
tetapi ternyata waktu dibuka dia malah tertawa terbahak-bahak. Kemudian Mbah
Jupri dihanyutkan kesungai yang sedang Banjir tetapi bukanya hanyut kehilir
malah hanyut kearah Hulu, dan akhirnya semua musuh pada ketakutan, maka Mbah
Jupri Mendapat gelar Prabustika yang dianggap dalam tubuhnya terdapat Mustika
kesaktian.
Sejarah
Kerajaan Dipa
Menurut Paul Michel
Munos dalam Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Senanjung Malaysia,
hal 401 dan 435, Empu Jamatka (maksudnya Ampu Jatmika) mendirikan pada tahun
1387, dia berasal dari Majapahit. Diduga Ampu Jatmika menjabat sebagai Sakai di
Negara Dipa (situs Candi Laras)(Margasari). Ampu Jatmika bukanlah keturunan
bangsawan dan juga bukan keturunan raja-raja Kuripan, tetapi kemudian dia
berhasil menggantikan kedudukan raja Kuripan sebagai penguasa Kerajaan Kuripan
yang wilayahnya lebih luas tersebut, tetapi walau demikian Ampu Jatmika tidak
menyebut dirinya sebagai raja, tetapi hanya sebagai Penjabat Raja (pemangku).
Penggantinya Lambung Mangkurat (Lembu Mangkurat) setelah bertapa di sungai
berhasil memperoleh Putri Junjung Buih yang kemudian dijadikan Raja Putri di
Negara Dipa.
Raja Putri ini sengaja
dipersiapkan sebagai jodoh bagi seorang Pangeran yang sengaja dijemput dari
Majapahit yaitu Raden Putra yang kelak bergelar Pangeran Suryanata I. Keturunan
Lambung Mangkurat dan keturunan mereka berdua inilah yang kelak sebagai
raja-raja di Negara Dipa. Menurut Tutur Candi, Kerajaan Kahuripan adalah
kerajaan yang lebih dulu berdiri sebelum Kerajaan Negara Dipa. Karena raja
Kerajaan Kahuripan menyayangi Empu Jatmika sebagai anaknya sendiri maka setelah
dia tua dan mangkat kemudian seluruh wilayah kerajaannya (Kahuripan) dinamakan
sebagai Kerajaan Negara Dipa, yaitu nama daerah yang didiami oleh Empu Jatmika.
(Fudiat Suryadikara, Geografi Dialek Bahasa Banjar Hulu, Depdikbud, 1984)
Kerajaan Negara Dipa
semula beribukota di Candi Laras (Distrik Margasari) dekat hilir sungai Bahan
tepatnya pada suatu anak sungai Bahan, kemudian ibukotanya pindah ke hulu
sungai Bahan yaitu Candi Agung (Amuntai), kemudian Ampu Jatmika menggantikan
kedudukan Raja Kuripan (negeri yang lebih tua) yang mangkat tanpa memiliki
keturunan, sehingga nama Kerajaan Kuripan berubah menjadi Kerajaan Negara Dipa.
Ibukota waktu itu berada di Candi Agung yang terletak di sekitar hulu sungai
Bahan (= sungai Negara) yang bercabang menjadi sungai Tabalong dan sungai
Balangan dan sekitar sungai Pamintangan (sungai kecil anak sungai Negara).
Kerajaan ini dikenal sebagai penghasil intan pada zamannya.
Raja Negara Dipa
Periode Raja-raja Kuripan yang
tidak diketahui nama penguasa dan masa pemerintahannya. Kerajaan Kuripan ini
disebutkan dalam Hikayat Banjar Resensi II.
Ampu
Jatmaka gelar Maharaja di Candi,
saudagar kaya dari Keling pendiri Negara Dipa tahun 1387 dengan mendirikan
negeri Candi Laras di hilir kemudian mendirikan (atau menaklukan?) negeri Candi
Agung di hulu di sebalik negeri Kuripan. Ampu Jatmaka sebagai penerus ayah
angkatnya raja tua Kerajaan Kuripan [= raja negeri lama yang berdiri
sebelumnya] yang tidak memiliki keturunan, tetapi Ampu Jatmaka mengganggap
dirinya hanya sebagai Penjabat Raja. Ketiga negeri/distrik ini dan ditambah
negeri Batung Batulis dan Baparada (= Balangan) yang muncul di dalam Hikayat
Banjar Resensi II teks Cense, maka inilah wilayah awal Negara Dipa. Kemudian
Empu Jatmika memerintahkan Tumenggung Tatahjiwa memperluas wilayah dengan
menaklukan batang Tabalong, batang Balangan dan batang Pitap. Ia jua
memerintahkan Arya Megatsari menaklukan batang Alai, batang Labuan Amas dan
batang Amandit. Widuga wilayah inilah yang menjadi ibukota baru Tanjungpura di
negara bagian Tanjungnagara (Kalimantan-Filipina).
Lambung
Mangkurat [= logat Banjar untuk Lembu Mangkurat] bergelar Ratu Kuripan, putera Ampu Jatmika (sebagai
Penjabat Raja). Ia berhasil memperluas wilayah kerajaan dari Tanjung
Silat/Selatn sampai Tanjung Puting yaitu wilayah dari sungai Barito sampai sungai
Seruyan.
Raden
Galuh Ciptasari alias Putri Ratna Janggala Kadiri gelar anumerta Putri Junjung
Buih [= perwujudan putri buih/putri bunga air menurut mitos Melayu] yaitu
puteri angkat Lambung Mangkurat,
diduga Ratu I ini berasal dari Majapahit yang disebut Bhre Tanjungpura. Menurut
Pararaton, Bhre Tanjungpura Manggalawardhani Dyah Suragharini yang berkuasa
1429-1464 adalah puteri Bhre Tumapel II 1389-1427 [= abangnya Suhita] dengan
istrinya Bhre Lasem V. Bhre Tanjungpura [= Bhre Kalimantan] dan Bhre Pajang III
Sureswari 1429-1450 [= adik bungsu Manggalawardhani] keduanya menjadi istri
Bhre Paguhan III 1400-1440 [= ayahnya Sripura] tetapi perkawinan ini tidak
memiliki keturunan (menurut Pararaton). Diduga Bhre Tanjungpura menikah lagi
dengan Bhre Pamotan I Rajasawardhana Dyah Wijayakumara. Menurut Prasasti
Trailokyapuri Manggalawardhani adalah Bhre Daha VI 1464-1474 yakni ibu
Ranawijaya (janda Sang Sinagara).
Rahadyan
Putra alias Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa gelar anumerta Maharaja
Suryanata [= perwujudan raja dewa matahari], suami Putri Junjung Buih yang dilamar/didatangkan
dari Majapahit dengan persembahan 10 biji intan. Raja ini berhasil menaklukan
raja Sambas, raja Sukadana/Tanjungpura, orang-orang besar/penguasa Batang Lawai
(= sungai Kapuas), orang besar/penguasa Kotawaringin, orang besar Pasir, raja
Kutai, orang besar Berau dan raja Karasikan. Menurut Hikayat Banjar Versi II,
pasangan ini memperoleh tiga putera yakni Pangeran Suryawangsa, Pangeran
Suryaganggawangsa dan Pangeran Aria Dewangsa [adi-vamsa = pengasas dinasti].
Ketiga putera ini memerintah di daerah yang berlainan (a) Undan Besar dan Undan
Kuning, (b) Undan Kulon dan Undan Kecil (c) Candi Laras, Candi Agung, Batung
Batulis dan Baparada [= Batu Piring?] serta Kuripan. Setelah beberapa lama
memerintah [pada tahun 1464?] Putri Junjung Buih dan Maharaja Suryanata
mengatakan hendak pulang ke tempat asalnya dan pemerintahan dilanjutkan oleh
putera-puteranya.
Rajasawardhana
alias Dyah Wijayakumara alias Sang Sinagara, yaitu putera sulung Bhre Tumapel
III Dyah Kertawijaya 1429-1447.
Dyah Wijayakumara [= Bhre Kahuripan VI] memiliki istri bernama Manggalawardhani
Bhre Tanjungpura. Dari perkawinan itu lahir empat orang anak, yaitu
Samarawijaya [= Bhre Kahuripan VII], Wijayakarana, [= Bhre Mataram V],
Wijayakusuma (= Bhre Pamotan II), dan Ranawijaya (= Bhre Kertabhumi=
Kartapura?= Tanjungpura?).
Aria
Dewangsa putera bungsu Putri Junjung Buih dengan Maharaja Suryanata (Hikayat
Banjar versi II),
menikahi Putri Mandusari alias Putri Huripan [yang ibunya meninggal ketika
melahirkannya] gelar Putri Kabu Waringin [karena minum air susu kerbau putih
yang diikat di pohon beringin] yaitu puteri dari Lambung Mangkurat (= Ratu
Kuripan) dengan Dayang Diparaja.
Raden
Sekar Sungsang, cucu Putri Junjung Buih dan juga cucu Lambung Mangkurat adalah putera dari pasangan
Pangeran Aria Dewangsa dengan Putri Kabu Waringin menurut Hikayat Banjar versi
II, tetapi menurut Hikayat Banjar versi I adalah cicit Putri Junjung Buih dan
juga cicit Lambung Mangkurat. Menurut versi II, Raden Sekar Sungsang [= Panji
Agung Rama Nata] pernah merantau ke Jawa [dan diduga sudah memeluk Islam] dan
di Jawa ia mengawini wanita setempat dan memperoleh dua putera bernama Raden
Panji Dekar dan Raden Panji Sekar [yang kemudian bergelar Sunan Serabut karena
menikahi puteri Raja Giri]. Sunan Serabut dari Giri inilah yang menuntut upeti
kepada Putri Ratna Sari gelar Ratu Lamak (puteri dari Raden Sekar Sungsang
dengan Putri Ratna Minasih yang menggantikannya sebagai raja). Ratu Lamak kemudian
digantikan adiknya Ratu Anom yang pernah ditawan ke Jawa karena gagal membayar
upeti. Menurut Hikayat Banjar versi I, ibu Raden Sekar Sungsang yaitu Putri
Kalungsu alias Putri Kabu Waringin, permaisuri Maharaja Carang Lalean (= Aria
Dewangga?) sempat menjadi wali raja ketika Raden Sakar Sungsang masih berumur
enam tahun sewaktu Maharaja Carang Lalean (= Raden Aria Dewangsa?) mengatakan
bahwa ia hendak pulang ke tempat asalnya (dan jika raja ini putera
Manggalawardhani maka kemungkinan kepulangannya ke tempat asal/Majapahit untuk
membantu kakaknya Samarawijaya berperang melawan pamannya Raja Majapahit?).
Maharaja Carang Lalean kemudian melantik Lambung Mangkurat sebagai pemangku.
Pada masa Maharaja Sari Kaburungan alias Raden Sekar Sungsang, putera dari Putri
Kabu Waringin alias Putri Kalungsu, untuk menghindari bala bencana ibukota
kerajaan dipindahkan dari Candi Agung (Amuntai) karena dianggap sudah
kehilangan tuahnya, pusat pemerintahan dipindah ke arah hilir pada percabangan
anak sungai Bahan yaitu Muara Hulak yang kemudian diganti menjadi Negara Daha
(sekarang kecamatan Daha Selatan) sehingga kerajaan disebut dengan nama yang
baru sesuai letak ibukotanya ketika dipindahkan yaitu Kerajaan Negara Daha.
Nama sungai Bahan pun berganti menjadi sungai Negara.
Sistem
Pemerintahan
Pada abad ke 14 muncul Kerajaan Negara
Daha yang memiliki unsur-unsur Kebudayaan Jawa akibat dari pendangkalan sungai
di wilayah Negara Dipa. Sebuah serangan dari Jawa menghancurkan Kerajaan Negara
Dipa ini. Pada masa Maharaja Sari Kabungaran alias Raden sekar Sungsang, putera
dari Putri Kabu Waringin alias Putri Kalungsu, untuk menghindari bala bencana
ibukota dipindahkan dari Candi Agung karena dianggap sudah kehilangan tuahnya,
untuk menyelamatkan dinasti baru pimpinan Maharaja Sari Kaburangan segera naik
tahta dan memindahkan pusat pemerintahan ke arah hilir pada percabangan anak
Sungai Bahan yaitu Muara Hulak. Negara Dipa terhindar dasi kehancuran total,
bahkan dapat menata diri menjadi besar yang kemudian diganti dengan nama Negara
Daha sehingga kerajaan disebut dengan nama yang baru sesuai dengan letak
ibukotanya ketika dipindahkan yaitu Kerajaan Negara Daha. Nama sungai Bahan pun
berganti menjadi Sungai Negara (Sungai Nagara).



Komentar
Posting Komentar