Kerajaan-kerajaan Budha

Sejarah Kerajaan Kalingga
sumber : https://image.slidesharecdn.com/kelompokbudha-140911085826-phpapp02/95/kerajaan-budha-di-indonesia-30-638.jpg?cb=1410426435

dimulai terhadap abad ke-6 serta merupakan sesuatu kerajaan dengan gaya India yang berada di pesisir utara Jawa Tengah. Belum dikenal secara pasti dimana pusat kerajaan ini berada, tetapi sebagian ahli memprediksikan jikalau tempatnya adanya di antara tempat yang kini menjadi Pekalongan serta Jepara. tak banyak yang bisa dikenal dari kerajaan ini pasal asal pati sejarah yang adanya juga hampir nihil serta mayoritas catatan mengenai sejarah kerajaan Kalingga didapat dari kisah-kisah Tiongkok, kisah turun-temurun rakyat sekitar, serta Carita Parahyangan yang menceritakan mengenai Ratu Shima dan hubungan ratu tersebut dengan kerajaan Galuh. Ratu Shima juga diketahui pasal peraturannya yang sadis dimana siapapun yang tertangkap basah merampok akan dipotong tangannya.
Awal Berdirinya Kerajaan Kalingga diramalkan dimulai terhadap abad ke-6 hingga abad ke-7. Nama Kalingga sendiri berasal dari kerajaan India langka yang bernama Kaling, mengidekan jikalau adanya tautan antara India serta Indonesia. Bukan cuma lokasi pasti ibu kota dari area ini saja yang tak diketahui, tetapi juga catatan sejarah dari periode ini amatlah kuno. Salah satu tempat yang dicurigai menjadi lokasi ibu kota dari kerajaan ini adalah Pekalongan serta Jepara. Jepara dicurigai pasal ada kabupaten Keling di pantai utara Jepara, sedangkan Pekalongan dicurigai pasal waktu lalunya terhadap saat awal dibangunnya kerajaan ini adalah sesuatu pelabuhan kuno. sebagian orang juga memiliki ide jikalau Pekalongan merupakan nama yang sudah berubah dari Pe-Kaling-an.
Pada tahun 674, kerajaan Kalingga dipimpin oleh Ratu Shima yang populer akan peraturan kejamnya pada pencurian, dimana Perihal tersebut mendorong orang-orang Kalingga menjadi jujur serta senantiasa memihak terhadap kebenaran. rujukan oleh cerita-cerita yang berkembang di masyarakat, terhadap suatu hari seorang raja dari negara yang asing datang serta meletakkan sesuatu kantung yang terisi dengan emas terhadap persimpangan jalan di Kalingga buat menguji kejujuran serta kebenaran dari orang-orang Kalingga yang terkenal. Dalam sejarahnya terhitung jikalau tak adanya yang berani menyentuh kantung emas yang bukan milik mereka, paling tak sepanjang tiga tahun hingga akhirnya anak dari Shima, sang putra mahkota secara tak sengaja menyentuh kantung tersebut dengan kakinya. Mendengar Perihal tersebut, Shima dengan cepat menjatuhkan hukuman meninggal kepada anaknya sendiri. Mendengar hukuman yang dijatuhkan oleh Shima, sebagian orang memohon supaya Shima cuma memotong kakinya pasal kakinya lah yang bersalah. Dalam sebagian cerita, orang-orang tadi bahkan meminta Shima cuma memotong jari dari anaknya.
Dalam salah satu kejadian terhadap sejarah kerajaan Kalingga, terkandung sesuatu titik balik dimana kerajaan ini terislamkan. terhadap tahun 651, Ustman bin Affan mengirimkan sebagian utusan menuju Tiongkok bersetara dengan mengemban misi buat memperkenalkan Islam kepada area yang asing tersebut. disamping ke Tiongkok, Ustman juga mentransfer sebagian orang utusannya menuju Jepara yang dulu bernama Kalingga. kehadiran utusan yang berlangsung terhadap waktu sehabis Ratu Shima turun serta digantikan oleh Jay Shima ini mengakibatkan sang raja memeluk agama Islam serta juga diikuti jejaknya oleh sebagian bangsawan Jawa yang mulai tidak membawa agama asli mereka serta menganut Islam.
Seperti keseringan kerajaan lainnya di Indonesia, kerajaan Kalingga juga merasakan ketertinggalan saat kerajaan tersebut runtuh. Dari semua peninggalan yang berhasil diciptakan ialah 2 candi bernama candi Angin serta candi Bubrah. Candi Angin serta Candi Bubrah merupakan dua candi yang diciptakan di Keling, tepatnya di desa Tempur. Candi Angin menemukan namanya pasal mempunyai letak yang tinggi serta berusia lebih tua dari Candi Borobudur. Candi Bubrah, di lain sisi, merupakan sesuatu candi yang baru setengah jadi, tetapi umurnya setara dengan candi Angin.
Kerajaan Kalingga diketahui juga dengan nama kerajaan Ho-ling oleh orang-orang Tionghoa. rujukan oleh catatan bangsa Tionghoa, Ho-ling diyakini timbul ketika berlangsung ekspansi besar oleh dinasti Syailendra. cerita mengenai kerajaan Ho-ling mulai ditulis dalam kronik dinasti Tang yang adanya terhadap tahun 618 hingga 906. rujukan oleh kronik tadi, orang-orang Ho-ling diyakini gemar makan cuma memakaikan tangan serta dengan tidak sendok ataupun sumpit. Tertulis juga di kroik tadi jikalau para masyarakat Ho-ling suka mengonsumsi tuwak, sesuatu sari buah yang difermentasikan. Ibu kota dari Ho-ling dikelilingi oleh pagar kayu, serta sang raja tinggal di sesuatu istana berlantai 2 serta daun palma sebagai atapnya. Sang raja duduk terhadap sesuatu kursi yang terbuat dari gading serta memakaikan keset yang terbuat dari bambu. Ho-ling juga diceratakan mempunyai sesuatu bukit yang ia namakan Lang-pi-ya. sebagian asal pati lain dari catatan Tionghoa mencatat sesuatu analisis mengenai lokasi dari kerajaan Ho-ling ini. Ia mencatat jikalau Ho-ling berlokasi di Jawa Tengah serta jikalau La-pi-ya menghadap ke arah samudra bikin lokasi Ho-ling jadi agak lebih gampang diketahui.
Raja atau ratu yang saat itu memegang kepala pemerintahan Ho-ling tinggal di kota bernama She-p’o, tetapi Ki-yen setelah itu memindahkan lokasi pemerintahan menuju P’o-lu-Chia-ssu. rujukan oleh catatan, diramalkan jikalau adanya kebingungan yang meliputi masa-masa terakhir kerajaan Ho-ling atau Kalingga ini. adanya dua teori besar mengenai Perihal ini, dimana teori yang pertama ialah ketika Sanjaya yang masih merupakan cucu dari Shima mengambil alih pemerintahan. Ia mengganti kerajaan Kalingga yang bercorak Buddha menjadi kerajaan Mataram yang mempunyai corak hindu. kisah lain mengenai sejarah kerajaan Kalingga adalah mengenai bagimana Patapan yang merupakan salah satu pangeran dari dinasti Sanjaya merebut kursi penguasa serta menjadi raja terhadap tahun 832, dimana Mataram terus menjadi pengemulasi aturan-aturan Sailendra.
Ratu Sima ialah penguasa di Kerajaan Kalingga. Ia digambarkan sebagai seorang pemimpin perempuan yang tegas serta taat pada peraturan yang berlaku dalam kerajaan itu. Ratu sima memerintah sekitar tahun 674-732 m
Kehidupan ekonomi kerajaan Kalingga
Perekonomian kerajaan kalingga bertumpu terhadap sector perdagangan serta pertanian. lokasinya yang dekat dengan pesisir pantai utara jawa tengah mengakibatkan kalingga gampang di akses oleh pedagang luar negerikalingga. merupakan area penghasil kulit penyu, emas, perak, culabadak,dan gading gajah buat dijual. warga kalingga diketahui pandai bikin minuman yang berasal dari bunga kelapa serta bunga aren.
Kehidupan sosial kerajaan kalingga
Kerajaan kalingga hidup dengan teratur,berkat kepemimpinan ratu sima ketentraman serta ketertiban di kerajaan kalingga terjadi dengan baik. Dalam menegakkan hukum, ratu sima tak membeda-bedakan antara rakyat dengan kerabatnya sendiri. Berita mengenai ketegasan hukum ratu sima, raja yang bernama T-shih ia ialah kaum muslim arad serta persia, ia menguji kebenaran berita yang ia dengarbeliau. memerintahkan anak buahnya buat meletakkan satu kantong emas di jalan wilayah kerajaan kalingga. sepanjang tiga tahun kantong tersebut tak adanya yang menyentuh, bila adanya yang menatap kantong itu ia berupaya menyingkir.
Tetapi terhadap suatu hari, putra mahkota tak sengaja menginjak kantong tersebut hingga isinya berceceran. Mendengar kejadian tersebut ratu sima marah, serta memerintahkan supaya putra mahkota dihukum mati. tapi pasal para menteri memohon supaya putra mahkota memperoleh pengampunan. Akhirnya ratu sima cuma memerintahkan supaya jari putra mahkota yang menyentuh kantong emas tersebut di potong,hal ini menjadi evidensi ketegasan ratu sima.
Kehidupan politik kerajaan kalingga
Pada abad ketujuh masehi kerajaan kalingga dipimpin oleh ratu sima, hukum di kalingga ditegakkan dengan baik sehingga ketertiban serta ketentraman di kalingga berjalan dengan baik. Menurut naskah parahhayang, Ratu sima mempunyai cucu bernama sanaha yang menikah dengan Raja Brantasenawa dari kerajaan galuh. Sanaha mempunyai anak bernama sanjaya yang kelas akan menjadi raja mataram kuno. Sepeninggalan Ratu sima, kerajaan Kalingga ditaklukan oleh kerajaan Sriwijaya.
Sewaktu kepemimpinan Ratu sima menjadi waktu keemasan bagi kerajaan kalingga sehingga bikin raja-raja dari kerajaan lain segan, hormat, kagum, dan merupakan juga penasaran. waktu waktu itu ialah waktu keemasan bagi pernyebaran kebudayaan apapun. Agama buddha juga berkembang secara harmonis, sehingga wilayah di sekitar kerajaan Ratu Sima juga kerap dikatakan Di Hyang(tempat bersatunya dua kepercayaan hindu serta buddha).
Dalam bercocok tanam Ratu Sima mengadopsi proses pertanian dari kerajaan kakak mertuanya. Ia merancang proses pengairan yang dikasi nama subak. Kebudayaan baru ini yang setelah itu melahikan istilah Tanibhala, atau masyarakat yang mengolah mata pencahariannya dengan metode bertani atau bercocok tanam.

Sejarah Kerajaan Sriwijaya
sumber : https://image.slidesharecdn.com/perkembangankerajaanhindubudha1-150422214926-conversion-gate01/95/perkembangan-kerajaan-hindu-budha-1-8-638.jpg?cb=1429757445

Kerajaan Sriwijaya diambil dari dua suku kata yakni Sri yang artinya adalah gemilang atau bercahaya dan wijaya yang artinya adalah kemenangan. Jika digabungkan, Sriwijaya artinya adalah kemenangan yang bergemilang. Mengingat bahwa kerajaan ini begitu terkenal hingga mendunia, tak heran jika Sriwijaya disebut dengan nama yang berbeda di berbagai negara. Dalam bahasa Pali dan Sansekerta, Sriwijaya dikenal dengan sebutan Javadeh dan Yavadesh. Di Tionghoa, Kerajaan Sriwijaya disebut dengan nama San-fo-ts’i, San FoQi atau Shih-li-fo-shih. Sedangkan bangsa Arab mengenal kerajaan Sriwijaya dengan sebutan Sribuzaatau Zabaj.
Sejarah Kerajaan Sriwijaya semakin terkenal hingga generasi sekarang karena masa kejayaannya yang sangat luar biasa pada abad sekitar 9 sampai dengan 10 Masehi. Pada masa itu, Kerajaan Sriwijaya diketahui menguasai jalur perdagangan melalui laut atau maritim di wilayah Asia Tenggara. Dalam dunia maritim, Sriwijaya telah berhasil melakukan kolonisasi dengan hampir semua kerajaan-kerajaan besar yang ada di Asia Tenggara. Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya sudah menyentuh tanah Sumatera, Semenanjung Malaya, Jawa, Thailand, Vietnam, Filipina hingga Kamboja. Kekuasaan kerajaan Sriwijaya tersebut meliputi pengendalian rute kegiatan perdagangan lokal dan rempah. Dimana mereka mengenakan bea cukai terhadap semua kapal yang lewat. Tak hanya mengumpulkan kekayaan dari maritim, Kerajaan Sriwijaya juga mengumpulkan kekayaan melalui gudang perdagangan untuk pasar India dan Tiongkok.
Sejarah Kerajaan Sriwijaya sendiri tidak banyak yang menerangkan kapan sebenarnya kerajaan ini berdiri. Pasalnya bukti tertua justru berasal dari Cina. Dimana pada tahun 682 M, ada seorang pendeta asal Tiongkok bernama I-Tsingingin mendalami agama Budha di wilayah India, lalu singgah untuk mempelajari bahasa Sansekerta di Sriwijaya selama bulan. Pada saat itu, tercatat pula bahwa kerajaan Sriwijaya dikuasai oleh Dapunta Hyang. Disamping berita dari Cina, bukti keberadaan Sriwijaya juga tertulis dalam beberapa prasasti. Salah satunya adalah Prasasti di Palembang yakni prasasti Kedukan Bukit (605S/683M). Dalam prasasti tersebut, diketahui bahwa Dapunta Hyang telah melakukan ekspansi selama 8 hari dengan mengikutsertakan 20.000 tentara dan berhasil menguasai dan menaklukan beberapa daerah. Mulai dari kemenangan tersebut, kerajaan Sriwijaya semakin makmur dan sejahtera. Jika melihat bukti dari Cina dan prasasti di Palembang tersebut, para ahli menyimpulkan bahwa raja pertama Kerajaan Sriwijaya adalah Dapunta Hyang, dan kerajaan ini mulai berdiri sekitar abad ke-7.
Bukti-Bukti Sejarah Kerajaan Sriwijaya
Nama Sriwijaya sudah terkenal dalam perdagangan internasional. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya berbagai sumber yang menerangkan mengenai keberadaan Kerajaan Sriwijaya, seperti di bawah ini. Dari berita Arab diketahui bahwa pedagang Arab melakukan kegiatan perdagangan di Kerajaan Sriwijaya, bahkan disekitar Sriwijaya ditemukan peninggalan bekas perkampungan orang Arab. Dari berita India diketahui bahwa Keraaan Sriwijaya pernah menjalin hubungan dengan Kerajaan India, seperti Nalanda dan Colamandala bahkan Kerajaan Nalanda mendirikan prasasti yang menerangkan tentang Sriwijaya.
Dari berita Cina diketahui bahwa para pedagang Cina sering singgah di Kerajaan Sriwijaya sebelum melanjutkan perjalanan ke India dan Arab. Berita Cina juga menyebutkan pada abad ke-7 di Sumatra telah ada beberapa kerajaan, antara lain Kerajaan Tulang Bawang di Sumatra Selatan, Melayu di Jambi, dan Sriwijaya. Keberadaan Kerajaan Sriwijaya ini dapat diperoleh informasinya, misalnya, dari cerita pendeta Buddha dari Tiongkok, I-tsing. Pada tahun 671, Ia berangkat dan Kanton ke India, kemudian singgah terlebih dahulu di Sriwijaya selama enam bulan untuk belajar tata bahasa Sanskerta. Pada tahun 685, dia kembali ke Sriwijaya dan menetap selama empat tahun untuk menerjemahkan berbagai kitab suci Buddha dan bahasa Sanskerta ke bahasa Tionghoa. Karena dalam kenyataannya, dia tidak dapat menyelesaikan sendiri pekerjaan itu, maka pada tahun 689, dia pergi ke Kanton untuk mencari pembantu dan segera kembali lagi ke Sriwijaya. Selanjutnya, baru pada tahun 695, I-tsing pulang ke Tiongkok.
Raja-raja Kerajaan Sriwijaya
Raja-raja yang berhasil diketahui pernah memerintah Kerajaan Sriwijaya adalah sebagai berikut:
Raja Daputra Hyang, Berita mengenai raja ini diketahui melalui prasasti Kedukan Bukit (683 M). Pada masa pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang telah berhasil memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke wilayah Jambi. Sejak awal pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang telah bercita-cita agar Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan bercorak maritim.
Raja Dharmasetu Pada masa pemerintahan Raja Dharmasetu, Kerajaan Sriwijaya berkembang sampai ke Semenanjung Malaya. Bahkan, disana Kerajaan Sriwijaya membangun sebuah pangkalan di daerah Ligor. Selain itu, Kerajaan Sriwijaya juga mampu menjalin hubungan dengan China dan India. Setiap kapal yang berlayar dari India dan China selalu singgah di Bandar-bandar Sriwijaya.
Raja Balaputradewa Berita tentang raja Balaputradewa diketahui dari keterangan Prasasi Nalanda. Balaputradewa memerintah sekitar abad ke-9, pada masa pemerintahannya, kerajaan Sriwijaya berkembang pesat menjadi kerajaan yang besar dan menjadi pusat agama Buddha di Asia Tenggara. Ia menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di India seperti Nalanda dan Cola. Balaputradewa adalah keturunan dari dinas Syailendra, yakni putra dari Raja Samaratungga dengan Dewi Tara dari Sriwijaya.
Raja Sri Sudamaniwarmadewa: Pada masa pemerintahan Raja Sri Sudamaniwarmadewa, Kerajaan Sriwijaya pernah mendapat serangan dai Raja Darmawangsa dari Jawa Timur. Namun, serangan tersebut berhasil digagalkan oleh tentara Sriwijaya.
Raja Sanggrama Wijayattunggawarman: Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Sriwijaya mengalami serangan dari Kerajaan Chola. Di bawah pimpinan Raja Rajendra Chola, Kerajaan Chola melakukan serangan dan berhasil merebut Kerajaan Sriwijaya. Sanggrana Wijayattunggawarman akhirnya ditawan. Namun pada masa pemerintahan Raja Kulottungga I Kerajaan Chola, Raja Sanggrama Wijayattunggawarman kemudian dibebaskan kembali.
Masa Keemasan Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya mengalami zaman keemasan pada saat diperintah oleh Raja Balaputradewa pada abad ke-9. Wilayah Kerajaan Sriwijaya meliputi hampir seluruh Sumatra, Kalimantan Barat, Jawa Barat, dan Semenanjung Melayu. Oleh karena itu, Kerajaan Sriwijaya disebut kerajaan Nusantara pertama. Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan maritim, pusat agama Buddha, pusat pendidikan, dan sebagai pusat perdagangan di Asia Tenggara. Kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim karena mempunyai angkatan laut yang tangguh dan wilayah perairan yang luas. Karena begitu luas wilayahnya, maka Kerajaan Sriwijaya disebut Kerajaan Nusantara pertama.
Kerajaan Sriwijaya sebagai pusat pendidikan penyebaran agama Buddha, dengan bukti catatan I-tsing dari China pada tahun 685 M, yang menyebut Sriwijaya dengan She-le-fo-she. Kerajaan Sriwijaya sebagai pusat perdagangan karena Palembang sebagai jalur perdagangan nasional dan internasional. Banyak kapal yang singgah sehingga menambah pemasukan pajak.
Kemunduran Kerajaan Sriwijaya
Beberapa faktor penyebab kemunduran Kerajaan Sriwijaya di antaranya adalah sebagai berikut:
Faktor geografis, berupa perubahan letak Kerajaan Sriwijaya. Perubahan ini erat kaitannya dengan pengendapan lumpur Sungai Musi yang mengakibatkan letak ibu kota Kerajaan Sriwijaya tidak lagi dekat dengan pantai. Akibatnya ibu kota Sriwijaya kurang diminati lagi oleh pedagang internasional.
Lemahnya kontrol pemerintahan pusat sehingga banyak daerah yang melepaskan diri.
Berkembangnya kekuatan politik di Jawa dan India. Sriwijaya mendapat serangan dari Raja Rajendracola dari Colamandala tahun 1017 dan 1025. Pada tahun 1025, serangan itu diulangi sehingga Raja Sriwijaya, Sri Sanggramawijayattunggawarman ditahan oleh pihak Kerajaan Colamandala. Tahun 1275, Raja Kertanegara dari Singosari melakukan ekspcdisi Pamalayu. Hal itu menyebabkan daerah Melayu lepas dari kekuasaan Sriwijaya. Akhir dari Kerajaan Sriwijaya terjadi saat armada laut Majapahit menyerang Sniwijaya tahun 1377.

Sejarah Kerajaan Mataram
sumber : https://image.slidesharecdn.com/mataramislam-160902142044/95/presentasi-sejarah-sma-kelas-x-kerajaan-mataram-islam-4-638.jpg?cb=1472826227

Sekitar abad ke-8 di Jawa Tengah berdiri Kerajaan Mataram. Munculnya kerajaan ini diterangkan dalam prasasti yang ditemukan di daerah Canggal, di barat daya Magelang. Dalam prasasti canggal diterangkan bahwa Raja Sanjaya telah mendirikan lingga di atas bukit Kunjarakunja (di gunung Wukir) pada tahun 732 masehi. jawa (Mataram) yang kaya akan padi dan emas, mula-mula diperintah oleh Raja Sanna. Setelah Raja Sanna meninggal, negara pecah karena kehilangan pelindung. Penggantinya ialah Raja sanjaya anak Sannaha, saudara perempuan Raja Sanna. Raja Sanjaya berhasil menaklukkan beberapa daerah sekitarnya dan menciptakan kemakmuran bagi rakyatnya.
Riwayat berdirinya kerajaan Mataram tersurat pula dalam kitab Carita Parahiyangan. Di dalam Carita Parahiyangan diceritakan bahwa Sanna terpaksa turun takhta karena dikalahkan Rahyang Purbasora di Galuh. Ia dan para prajuritnya menyingkir ke lereng Gunung Merapi. Tidak lama anak sannaha, yaitu Sanjaya berhasil membalas kekalahan Raja Sanna. Ia kemudian menguasai Galuh kembali dan menaklukkan Kerajaan-kerajaan kecil di Jawa Barat bagian Timur dan Jawa tengah. Setelah itu Sanjaya mendirikan Kerajaan Mataram yang beribukota di Medang ri Poh pada tahun 717 M.
Kerajaan Mataram diperintah oleh raja-raja dari dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra. Dinasti Sanjaya adalah raja-raja keturunan Sanjaya yang menganut agama hindu, sedangkan dinasti Syailendra adalah raja-raja yang diduga berasal dari India Selatan atau Kamboja yang menganut agama Buddha Mahayana. Menurut beberapa ahli sejarah, antara kedua dinasti terjadi persaingan sehingga mereka secara bergantian memerintah Mataram. Di dalam prasasti Mantyasih (907 M) dan prasasti wanua Tengah III (908 M) disebutkan nama-nama Raja Mataram sebagai berikut.
1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (717-746 M)
2. Rakai Panangkaran Dyah Sankhara (746-784 M)
3. Rakai Panunggalan/Dharanindra (784-803 M)
4. Rakai Warak Dyah manara (803-827 M)
5. Dyah Gula (827-828)
6. Rakai Garung (828-847 M)
7. Rakai Pikatan Dyah Saladu (847-855 M)
8. Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala (855-885 M)
9. Dyah Tagwas (885)
10. Rakai Panumwangan Dyah Dawendra (885-887 M)
11. Rakai Gurunwangi Dyah Wadra (887 M)
12. Rakai watuhumalang Dyah Jbang (894-898 M)
13. Rakai watukura Dyah Walitung (898-913 M)
Raja Sanjaya meninggal pada tahun 746 M. Ia diganti oleh Rakai Panangkaran. Pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran agama Buddha mulai berkembang di Mataram. Dalam prasasti Sankhara (sekitar abad ke-8) yang ditemukan di Sragen (Jawa Tengah), tertulis bahwa Rakai Panangkran telah berpindah dari agama Siwa ke agama Buddha. Ia mendirikan candi Kalasan untuk menghormati dewi Tara. Ia juga membangun biara untuk para bhiksu dan bhiksuni buddha. Sejak saat itu keluarga kerajaan ada yang beragama Hindu dan ada pula yang beragama Buddha. Mereka yang beragama Hindu tinggal di jawa Tengah bagian utara, sedangkan yang menganut agama Buddha berada di wilayah jawa Tengah bagian Selatan.
Agama Buddha mengalami perkembangan yang amat pesat pada masa pemerintahan Samaratungga, anak dari Rakai Panangkaran. Nama samaratungga tidak tercatat dalam silsilah Raja yang tertuang dalam prasasti Mantyasih. Ia diketahui namanya dalam prasasti Nalanda dan prasasti Kayumwungan (824 M). Pada tahun 824 Masehi, ia berhasil membangun Candi Borobudur untuk para penganut agama Buddha. Bangunan ini terdiri atas 10 tingkat yang melambangkan makna bahwa kesempurnaan hidup akan dicapai setelah melampaui 10 tingkatan.
Candi Borobudur menjadi salah satu objek wisata Indonesia yang potensial. Keunikan dari candi tersebut dapat dilihat dari relief, stupa, dan seni arsitektur yang menggunakan bahan tanpa semen, hanya tumpukan batu-batu besar. Samaratungga mempunyai anak yang bernama Pramodhawardani dan Balaputeradewa. Samaratungga menikahkan ramodhawardani dengan Rakai Pikatan. Balaputeradewa tidak menyetujui perkawinan tersebut karena terancam kedudukannya sebagai putera mahkota Syailendra. Oleh karena itu, timbullah perselisihan antara Balaputeradewa dan Pramodhawardani yang dibantu rakai Pikatan. Dalam pertikaian itu, Balaputeradewa menderita kekalahan sehingga melarikan diri ke Sumatera. Kelak ia menjadi Raja Kerajaan Sriwijaya.
Semenjak Rakai pikatan berkuasa, Kerajaan Mataram menjadi damai dan makmur. Umat hindu dan buddha hidup berdampingan dengan rukun dan damai. Toleransi kehidupan beragama terwujud dalam pembangunan dan pemeliharaan candi-candi secara bergotong royong. Kerajaan mataram kuno mencapai puncak kejayaannya pada masa kepemimpinan Raja Balitung (898-910 M). Di masa kekuasaannya, daerah-daerah disebelah timur Mataram berhasil ditaklukkannya. Oleh karena itu, daerah kekuasaan Mataram semakin luas, yang meliputi Bagelen (Jawa Tengah) sampai Malang (Jawa Timur).
Sepeninggal Raja Balitung kerajaan Mataram kuno diperintah oleh raja-raja, yakni Daksa (910-919 M), Tulodong (919-924 M), dan Wawa (924-929 M). Namun, tidak ada sumber berarti yang dapat menerangkan peran ketiga nama tersebut.

Pada tahun 929 pusat kerajaan Mataram kuno dipindahkan ke Watugaluh (Jawa Timur) oleh Mpu Sindok. Ia dianggap sebagai pendiri dinasti Isyana. Menurut para sejarawan, perpindahan pusat kerajaan itu dilakukan karena wilayah Maram ditimpa bencana letusan gunung berapi. Masa pemerintahan Mpu Sindok berlangsung aman dan tenteram. Mpu Sindok seringkali memberikan bantuan bagi pembangunan tempat-tempat suci. Dalam bidang sastra muncul kitab suci agama Buddha Tantrayana, yaitu sang Hyang Kamahayanikan.
Pengganti Mpu sindok ialah Raja Dharmawangsa. Demi berbuat bagi kesejahteraan hidup rakyatnya, Dharmawangsa berupaya menguasai jalur perdagangan dan pelayaran yang saat itu dikuasai oleh kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 990 ia mengirim tentaranya ke Sumatera dan Semenanjung Malaka. Misi pasukannya berhasil menaklukkan beberapa daerah pantai di Sriwijaya. Upaya Dharmawangsa diangggap telah membawa kemajuan yang berarti bagi Kerajaannya.
Pada tahun 1016 kekuasaan Dharmawangsa dilanda malapetaka yang mengerikan. Ketika ia sedang menikahkan putrinya dengan Airlangga (Putera mahkota kerajaan Bali), tiba-tiba istana kerajaan diserang oleh tentara Wurawari, raja bawahan Dharmawangsa yang dihasut Sriwijaya. Dalam peristiwa ini hampir semua pembesar kerajaan Mataram kuno gugur. Peristiwa penyerbuan Raja Wurawati terhadap kekuasaan Raja Dharmawangsa ini terkenal dengan sebutan Pralaya Medang.
Pada tahun 1019 Airlangga dinobatkan menjadi raja oleh para pendeta buddha dan para brahmana dengan gelar sri Maharaja Rake Halu Sri lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramotunggadewa. Pada permulaan pemerintahannya, kerajaan diguncang berbagai peperangan yang hebat. Perang yang berkecamuk, misalnya perang menghadapi Raja Bhismaprabhawa, Raja Wengker, dan seseorang ratu di daerah selatan Tulungagung. Semua peperangan ini dimenangkan pihak Airlangga. Bahkan pada tahun 1033 Airlangga berhasil membalaskan kematian mertuanya dengan mengalahkan Raja Wurawati. Sejak saat itu, Airlangga mempersatukan kerajaan yang telah terpecah-pecah untuk memulai upaya pembangunan negerinya.
Pada bidang pemerintahan, Airlangga melakukan perombakan dengan mengangkat orang-orang yang berjasa kepadanya. Dalam bidang ekonomi, Airlangga memerintahkan membangun waduk di daerah Sungai Brantas. Di bidang sastra, muncul karya-karya bermutu, seperti kitab Arjunawiwaha karangan Mpu Kanwa. Di bidang sosial, banyak dibangun tempat-tempat suci, pertapaan, dan asrama-asrama pendeta. Semua upaya pembangunan negeri hanya ditujukan demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Airlangga merupakan seorang raja yang bijaksana. Tatkala puteri mahkota, Sanggramawijaya Dharma Prasadottuggadewi menolak menggantikan takhta Kerajaan, Airlangga tidak lantas marah. Ia justru membangun sebuah pertapaan dii pucangan karena puterinya itu memilih penghidupan sebagai petapa. Selanjutnya, Airlangga menemui kesulitan yang disebabkan Putera Dharmawangsa, Samarawijya menuntut hak atas kerajaan Mataram. Di lain pihak putera Airlangga yang kedua, yaitu Mapanji Garasakan menginginkan pula takhta kerajaan. Hal ini mungkin berakibat timbulnya perebutan kekuasaan.
Pada tahun 1041 M Airlangga memutuskan untuk membagi kerajaannya menjadi dua. Pembagian kerajaan itu dilakukan seorang brahmana yang terkenal kesaktiannya, yakni Mpu Barada. Dua kerajaan itu ialah Janggala dengan ibukota kahuripan dan kerajaan Panjalu dengan ibukota daha. Delapan tahun sesudah pembagian kerajaan, Airlangga wafat. Rakyat kemudian membangun patung Airlangga yang mengendarai burung garuda sebagai kenag-kenangan dan penghormatan atas jasa-jasa yang selama ini telah dilakukan oleh Airlangga terhadap kerajaan
Raja-Raja Kerajaan Mataram Islam
Kerajaan Mataram Islam sempat dimpin oleh 6 orang raja, yaitu sebagai berikut :
1. Ki Ageng Pamanahan
Ki Ageng Pamanahan merupakan pendiri dari desa Mataram pada tahun 1556. Desa inilah yang nantinya akan menjadi Kerajaan Mataram yang dipimpin oleh anaknya, Sutawijaya.Tanah ini awalnya hutan lebat yang lalu dibuka oleh masyarakat sekitar dan diberi nama Alas Mentaok. Lalu Ki Ageng Pamanahan menjadikan bekas hutan ini sebagai sebuah desa yang diberinama Mataram. Ki Ageng Pamanahan wafat pada tahun 1584 dan dimakankan di Kota Gede (Jogjakarta sekarang)
2. Panembahan Senapati
Setelah ki Ageng wafat pada tahun 1584, kekuasaan jatuh ke tangan anaknya yaitu Sutawijaya. Ia adalah menantu dan anak angkat dari Sultan Pajang.Sutawijaya tadinya merupakan senapati dari kerajaan Pajang. Karena itu ia diberi gelar “Panembahan Senapati” karena masih dianggap sebagai senapati utama Pajang dibawah Sultan Pajang.
Kerajaan Mataram Islam mulai bangkit dibawah kepemimpinan Panembahan Senapati. Kerajaan ini lalu memperluas wilayah kekuasaannya dari Pajang, Demak, Tuban, Madiun, Pasuruan dan sebagian besar wilayah Surabaya. Panempahan Senapati wafat pada tahun 1523, lalu posisinya digantikan oleh anaknya yang bernama Raden Mas Jolang.
3. Raden Mas Jolang
Raden Mas Jolang atau Panembahan Anyakrawati merupakan putra dari Panembahan Senapati dan putri Ki Ageng Panjawi, penguasa Pati. Raden Mas Jolang Merupakan pewaris kedua dari kerajaan Mataram Islam. Beliau memerintah dari tahun 1606 – 1613 atau selama 12 tahun.

Pada masa pemerintahannya, banyak terjadi peperangan. Peperangan karena penaklukan wilayah ataupun karena mempertahankan wilayah.Raden Mas Jolang wafat pada tahun 1613 di desa Krapyak. dimakamkan di makam Pasar gede di bawah makan ayahnya.
4. Raden Mas Rangsang
Raden Mas Rangsang adalah raja ke 3 Kerajaan Mataram Islam dan merupakan putra dari Raden Mas Jolang. Ia memerintah pada tahun 1613 – 1645. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Mataram mencapai puncak kejayaannya. Raden Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Senapati Ingalaga Ngabdurrachman. Pada masa ini, Kerajaan Mataram berhasil menguasai hampir seluruh Tanah Jawa seperti Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian Jawa Barat.
Selain melakukan penaklukan wilayah dengan berperang melawan raja Jawa. Sultan Agung juga memerangi VOC yang ingin merebut Jawa dan Batavia. Pada masa Sultan Ageng, Kerajaan Mataram berkembang menjadi Kerajaan Agraris. Sultan Ageng wafat pada tahun 1645 dan di makanmkan di Imogiri
5. Amangkurat
Sultan Amangkurat merupakan anak dari Sultan Ageng. Ketika berkuasa, ia memindahkan pusat kerajinan dari kota Gedhe ke kraton Plered pada tahun 1647. Sultan Amangkurat berkuasa dari tahun 1638 sampai tahun 1647. Pada masa inilah Kerajaan Mataram Islam terpecah. Ini dikarenakan sultan Amangkurat I menjadi teman dari VOC. Sultan Amangkurat I meninggal pada tanggal 10 Juli 1677 dan dimakankan di Telagawangi, Tegal. Sebelum meninggal, ia sempat menangkat Sunan Mataram atua Amangkurat II sebagai penerusnya.
6. Amangkurat II
Amangkurat II atau Raden Mas Rahmat merupakan pendiri dan raja pertama dari Kasunanan Kartasura. Kasunanan Kartasura merupakan lanjutan dari Kerajaan Mataram Islam. Raden Mas Rahmat memerintah dari tahun 1677 sampai tahun 1703. Beliau merupakan raja Jawa pertama yang menggunakan pakaian eropa sebagai pakaian dinas. Karena itu rakyat menjulukinya Sunan Amral (Admiral).
Masa Kejayaan
Wangsa Sanjaya
Kejayaan Mataram Kuno sudah tampak sejak awal. Semua ini berkat jiwa kepemimpinan Sanjaya yang memang layak menjadi raja. Sanjaya bukan sembarang raja yang hanya menginginkan kekuasaan semata. Sanjaya adalah seorang raja yang juga memahami isi dari kitab sucinya. Ia adalah seorang penganut Hindu Syiwa yang sangat taat.

Selama pemerintahan Sanjaya, penduduk Mataram Kuno menghasilkan komoditi pertanian berupa olahan padi yang digunakan sebagai pemenuh kebutuhan masyarakat di dalam maupun luar kerajaan. Sanjaya sendiri tida pernah menunggu disuruh para Brahmana untuk membangun pura-pura sebagai tempat suci peribadahan orang Hindu.
Meskipun sangat mendukung perkembangan agama Hindu, namun Sanjaya merupakan raja yang bijak. Beliau ini bercermin pada sejarah kerajaan Majapahit yang sukses menerapkan sejarah bhinneka tunggal ika sesuai yang tercantum di kitab Negarakertagama. Sanjaya menjembatani penduduk di Mataram Kuno yang ingin memeluk agama lain. Waktu itu, hanya ada 2 agama besar yang memiliki banyak pengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Hanya ada Hindu dan Buddha.
Rakai Panangkaran
Sifat Rakai Panangkaran yang paling menonjol adalah pemberani. Ia telah melakukan banyak penaklukan terhadap raja-raja kecil di sekitar wilayah Mataram Kuno. Rakai Panangkaran menggantikan Ratu Sanjaya sebagai penguasa kerajaan Mataram Kuno. Di masa pemerintahannya, kaum Hindu bertempat tinggal di Mataram Kuno bagian utara. Sementara para pemeluk Buddha lebih nyaman menempati wilayah Jawa Tengah sebelah selatan.
Perbedaan tempat ini sengaja dilakukan agar kedua agama dapat hidup berdampingan, menjalankan ibadahnya masing-masing, dan berinteraksi dengan orang-orang yang sama. Keimanan akan semakin kuat karena seringnya bergaul dengan orang seagama. Namun di luar urusan agama, setiap penduduk Mataram Kuno tetap menjalin hubungan dagang dan pekerjaan lain seperti biasanya.
Rakai Panangkaran merubah agamanya sendiri menjadi Buddha Mahayana. Sejak Rakai –sebutan Raja- Panangkaran beralih agama, ia mendirikan wangsa baru yang dinamai Syailendra. Dengan itu berarti ada wangsa kedua yang menguasai kerajaan Uniknya, para penganut Hindu dan Buddha di Mataram Kuno selalu hidup aman dan nyaman. Para penganut Hindu mendirikan candi peninggalan agama hindu seperti candi Dieng dan Gedong Songo. Di belahan Mataram Kuno bagian selatan juga membangun candi peninggalan buddha semacam Mendut, Prambanan dan Borobudur yang pernah masuk ke dalam 7 keajaiban dunia.
Memang pada perkembangannya, kedua wangsa dan agama yang berbeda tersebut sempat berkelahi. Permasalahannya ada pada hak meneruskan kekuasaan raja. Namun konflik klasik ini dapat diatasi dengan keberanian Rakai Pikatan dari wangsa Sanjaya yang memeluk Hindu menikahi Pramodhawardhani, putri Samarattungga yang memulai pembangunan Borobudur dari Dinasti Syailendra. Akhirnya otomatis pula kedua wangsa ini sama-sama kembali duduk di istana kerajaan. Kedua agama yang sempat tak akur akhirnya kembali berbaikan.

Mataram Kuno terus berkembang maju hingga kekuasaannya jatuh ke tangan Dyah Balitung. Dyah Balitung bahkan mampu membalikkan keadaan yang semula tidak stabil menjadi lebih baik. Ialah raja Mataram Kuno yang kembali mempersatukan Jawa di bawah tundukan satu kerajaan. Kekuasaannya pun menyentuh hingga pulau Bali.
Masa Keruntuhan
Keruntuhan Mataram Kuno dipicu oleh perseteruan anggota keluarga. Semuanya bermula sejak Samarattungga meninggal dunia. Istrinya yang bernama Dewi Tara memiliki anak, Balaputeradewa. Balaputeradewa sebenarnya tidak terima atas kepemimpinana Rakai Pikatan sebagai Raja Mataram Kuno. Balaputeradewa yang memang tidak berada di posisi bagus nekad menunjukkan sikap perlawanan kepada kepemimpinan Rakai Pikatan. Kontan saja Rakai Pikatan mengusir Balaputeradewa. Lelaki tersebut mencoba bertahan di dekat Candi Prambanan dengan mendirikan Candi Boko. Sayangnya pertahanan tersebut tidak dapat bertahan lama. Keadaan memaksanya melarikan diri ke luar pulau Jawa. Ia memilih pulau Sumatera sebagai tempat pelariannya. Pada waktunya nanti, Balaputeradewa malah menjadi raja di kerajaan Sriwijaya.
Lewat ketangguhan kerajaan Sriwijaya, Balaputeradewa mencoba membalaskan sakit hatinya dulu. Di masa pemerintahan sesudah Dyah Balitung, Mataram Kuno berkembang ke bawah. Serangan dari kerajaan Sriwijaya semakin memperparah keadaan yang sebenarnya sudah keteteran dengan adanya bencana alam yang menimpa kerajaan Mataram Kuno.
Mpu Daksa yang merasa keturunan asli Sanjaya mengkudeta Dyah Balitung. Selanjutnya Mataram Kuno semakin goyah dari dalam maupun luar. Peristiwa Mahapralaya yang memporak-porandakan istana Mataram Kuno memaksa Mpu Sindok yang saat itu berperan sebagai Rakryan I Hino memindahkan pusat kerajaan ke Jawa Timur. Diperkirakan kota tepatnya adalah Jombang dan Madiun. Setelah perpindahan pusat kerajaan itu, Sriwijaya semakin parah menginjak-injak kekuasaan Mataram Kuno. Melalui sekutunya di Jawa, Sriwijaya mengakhiri kekuasaan Mataram Kuno di tahun 1016 Masehi sebagaimana yang disebutkan prasasti Pucangan.

Sejarah Kerajaan Talaga
Kerajaan Talaga Manggung adalah kerajaan yang didirikan Pada kira-kira sebelum abad ke-15, oleh Sunan Talaga manggung putra Pandita Prabu Darmasuci putra Batara Gunung Picung putera Suryadewata putera bungsu dari Maharaja Sunda yang bernama Ajiguna Linggawisesa (1333-1340) di Galuh Kawali, Ciamis.

lokasinya kini di kewadanaan Talaga adalah bekas salah satu kerajaan, yang terletak di Kabupaten Majalengka, bertahta bernama Sunan Talaga Manggung, asal keturunan Raja Prabu Siliwangi yang dimaksud mungkin Suryadewata putra Maharaja Ajiguna Linggawisesa. Kerajaan di Sangiang. Dia mempunyai dua orang putra, satu laki-laki dan satu perempuan, yang laki-laki bernama Raden Panglurah dan yang perempuan bernama Ratu Simbar Kencana.
Silsilah Kerajaan Talaga
Di Naskah Wangsakerta. Prabu Ajiguna Linggawisesa, menikah dengan Ratna Umalestari, adiknya Prabu Citraganda penguasa kerajaan Sunda Galuh tahun (1303-1311) Masehi. Pada masa pemerintahan Prabu Ajiguna Linggawisesa, ibukota Kerajaan Sunda beralih, dari Pakuan Bogor ke Kawali, Ciamis. Dari pernikahannya dengan Uma Lestari, Prabu Ajiguna Linggawisesa memperoleh putera, di antaranya, Ragamulya Luhur Prabawa, atau Aki Kolot (kelak menjadi raja pengganti) Prabu Ajiguna Linggawisesa, Dewi Kiranasari, diperisteri oleh Prabu Arya Kulon, Suryadewata, leluhur Kerajaan Talaga di Majalengka
Dengan kata lain, Prabu Suryadewata adalah putra Prabu Ajiguna Linggawisesa penguasa Kerajaan Sunda, yang ditempatkan di Kerajaan Talaga dan kelak akan melahirkan raja-raja di Kerajaan Talaga sebagai negara bawahan Kerajaan Sunda Galuh dimana ayahnya Prabu Ajiguna Linggawisesa dan kakaknya, Prabu Ragamulya Luhurprabawa alias Aki Kolot (1340-1350) M berkuasa di Galuh Kawali Ciamis.
Kebataraan Kemaharajaan Sunda
Daerah Kabataraan adalah tahta suci yang lebih menitikberatkan pada bidang kebatinan, keagamaan atau spiritual, dengan demikian seorang Batara selain berperan sebagai Raja juga berperan sebagai Brahmana atau Resiguru. Seorang Batara di Kemaharajaan Sunda mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan penting karena ia mempunyai satu kekuasaan istimewa yaitu kekuasaan untuk mengabhiseka atau mentahbiskan atau menginisiasi penobatan seorang Maharaja yang naik tahta Sunda.
Kabataraan Galunggung. Didirikan oleh Batara Semplak Waja putera dari Sang Wretikandayun (670-702), pendiri Kerajaan Galuh. Para Batara yang pernah bertahta di Galunggung antara lain:
Batara Semplak Waja,
Batara Kuncung Putih,
Batara Kawindu,
Batara Wastuhayu, dan
Batari Hyang.
Berdasarkan keterangan Prasasti Geger Hanjuang, Batari Hyang dinobatkan sebagai penguasa Galunggung pada tanggal 21 Agustus 1111 M atau 13 Bhadrapada 1033 Caka. Kabataraan Galunggung adalah cikal bakal Kerajaan Galunggung yang dikemudian hari menjadi Kabupaten Sukapura (Tasikmalaya).
Kebataraan Gunung Sawal. Pendiri Kerajaan Panjalu adalah Batara Tesnajati yang petilasannya terdapat di Karantenan Gunung Sawal. Mengingat gelar Batara yang disandangnya, maka kemungkinan besar pada awal berdirinya Panjalu. Besar kemungkinan setelah berakhirnya periode Kabataraan Galunggung itu kekuasaan kabataraan di Kemaharajaan Sunda dipegang oleh Batara Tesnajati dari Karantenan Gunung Sawal Panjalu. Adapun para batara yang pernah bertahta di Karantenan Gunung Sawal adalah :
Batara Tesnajati
Batara Layah dan
Batara Karimun Putih.
Pada masa kekuasaan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang atau Sanghyang Rangga Sakti putera Batara Karimun Putih, Panjalu berubah dari kabataraan menjadi sebuah daerah Kerajaan Panjalu. Kabataraan Gunung Tembong Agung. Kabataraan Sunda dilanjutkan oleh Batara Prabu Guru Aji Putih di Gunung Tembong Agung, Prabu Guru Aji Putih adalah seorang tokoh yang menjadi perintis Kerajaan Sumedang Larang. Prabu Guru Aji Putih digantikan oleh puteranya yang bernama Batara Prabu Resi Tajimalela, menurut sumber sejarah Sumedang Larang, Prabu Resi Tajimalela hidup sezaman dengan Maharaja Sunda Galuh yang bernama Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350) di Galuh Kawali. Prabu Resi Tajimalela digantikan oleh puteranya yang bernama Prabu Resi Lembu Agung, kemudian Prabu Resi Lembu Agung digantikan oleh adiknya yang bernama Prabu Gajah Agung yang berkedudukan di Ciguling. Dibawah pemerintahan Prabu Gajah Agung, Sumedang Larang bertransisi dari daerah kabataraan menjadi Kerajaan Sumedang Larang.
Kabataraan Gunung Picung. Kekuasaan kabataraan di Kemaharajaan Sunda (Sunda Kingdoms) kemudian dilanjutkan oleh Batara Gunung Picung yang menjadi cikal bakal Kerajaan Talaga (Majalengka). Batara Gunung Picung adalah putera Suryadewata, sedangkan Suryadewata adalah putera bungsu dari Maharaja Sunda yang bernama Ajiguna Linggawisesa (1333-1340). Batara Gunung Picung digantikan oleh puteranya yang bernama Pandita Prabu Darmasuci, sedangkan Pandita Prabu Darmasuci kemudian digantikan oleh puteranya yang bernama Begawan Garasiang. Begawan Garasiang digantikan oleh adiknya sebagai Raja Talaga yang bernama Sunan Talaga Manggung dan sejak itu pemerintahan Talaga digelar selaku kerajaan Talaga.
Kerajaan Talaga
Raden Panglurah. Dia tidak ada di keraton sedang melakukan tetapa di Gunung Bitung sebelah selatan Talaga. Ratu Simbar Kencana mempunyai suami kepala seorang patih di keraton tersebut, yang bernama Palembang Gunung, berasal dari Palembang. Patih Palembang Gunung setelah dirinya dipercaya oleh mertuanya, yaitu Sunan Talaga Manggung dan ditaati oleh masyarakatnya, timbul pikiran yang murka ingin menjadi seorang raja di Sangiang Talaga, dengan maksud akan membunuh mertuanya, Sunan Talaga Manggung.
Setelah mendapat keterangan dari seorang mantra yang bernama Citra Singa, bahwa sang raja sangat gagah perkasa tidak satu senjata atau tumbak yang mampu mengambil patinya raja, melainkan oleh suatu senjata tumbak kawannya raja sendiri ketika ia lahir, dan oleh Citra Singa diterangkan bahwa yang dapat mengambil senjata itu hanya seorang gendek kepercayaan raja yang bernama Centang Barang. Setelah mendapatkan tombak tersebut, kemudian Palembang Gunung membujuk dengan perkataan yang manis-manis dan muluk-muluk kepada Centang Barang untuk mengambil senjata tersebut, dan melakukan pembunuhannya, bila berhasil akan diganjar kenaikan pangkatnya. Kemudian setelah Centang Barang mendapatkan bujukan yang muluk-muluk dari Palembang Gunung ia bersedia melakukan pembunuhan itu.
Pada suatu waktu kira-kira jam lima pagi Sunan Talaga Manggung baru bangun dari tidurnya dan menuju jamban, dia diintai oleh Centang Barang, kemudian di tempat yang gelap ditumbak pada pinggang sebelah kiri, sehingga mendapat luka yang parah. Centang Barang setelah melakukan lari jauh dan diburu oleh yang menjaga, tetapi sang prabu bersabda, “Biarlah si Centang Barang jangan diburu, nanti juga ia celaka mendapat balasan dari Dewa karena ia durhaka.” Setelah si Centang Barang keluar dari keraton, ia menjadi gila, ia menggigit-gigit anggota badannya sampai ia mati.
Palembanga Gunung Mendapat kabar tentang peristiwa itu, lalu ia berangkat menengoknya, tetapi keraton tidak ada, hilang dengan seisinya, hilang menjadi situ yang sekarang dinamakan Situ Sangiang Talaga. Setelah keadaan keraton hilang, Patih Palembang Gunung diangkat menjadi raja di Talaga. Lama kelamaan peristiwa itu terbongkar dan ada di antaranya yang memberitahukan kepada Ratu Simbar Kencana, bahwa kematian ayahandanya adalah perbuatan suaminya sendiri. Setelah mendapatkabar itu maka Simbar Kencana membulatkan hati untuk membalas dendam kepada suaminya.. Pada saat Palembang Gunung sedang tidur nyeyak di tikamnya, digorok, oleh tusuk konde ratu Simbar Kencana, sehingga mati seketika itu juga.
Setelah gunung palembang itu mati, kerajaan belum ada yang menjabatnya maka di angkat Raden Panglurah yang baru pulang dari petapaan. Sedatangnya ke sangiang dia merasa kaget karena keadaan keraton sudah musnah hanya tampak situ saja dan setelah dia mendapat kabar dari orang yang bertemu di tempat itu bahwa keraton sudah dipindah tempatkan ke Walang Suji (Desa Kagok).

Ratu Simbar Kencana. Ketika Ratu Simbar Kencana sedang kumpulan dengan ponggawa, datanglah Raden Panglurah yang menuju kepada Ratu Simbar Kencana dan kemudian oleh ratu Simbar Kencana diterangkan atas kematian ayahandanya. Kemudian Raden Panglurah meminta agar yang melanjutkan pemerintahan adalah Ratu Simbar kencana sendri.
Dan dia akan menyusul ayahandanya dengan meminta empat dinas pahlawannya, setelah permintaan dikabukannya, dia menuju Situ Sangiang dan setelah tiba di Situ Sangiang tersebut dia beserta pengiringnya turun ke Situ Sangiang dan turut menghilang. Setelah Palembang Gunung meninggal dunia, Ratu Simbar kencana menikah lagi deangan Raden Kusumalaya Ajar Kutamangu, keturunan Galuh dan mempunyai putra Sunan Parung, dan setelah Ratu Simbar Kencana meninggal dunia, kerajaan pun diturunkannya kepada putranya Sunan Parung.
Sunan Parung. Sunan Parung mempunyai putra istri bernama Ratu Parung, melanjutkan kerajaannya dengan mempunyai suami Raden Rangga Mantri putranya Raden Munding Sari Agung, keturunan Prabu Siliwangi atau Pajajaran. Rangga Mantri atau Prabu Pucuk Umum. Dari waktu itu Raden Rangga Mantri dan Ratu Parung agamanya ganti menjadi Islam dari semula beragama Budha, yang dikembangkan oleh Syarif Hidayatullah. Raden Rangga Mantri setelah menjadi Islam namanya diganti Prabu Pucuk Ulum. Prabu Pucuk Ulum mempunyai putra bernama Sunan Wanaperih yang akhirnya menjadi raja bertempat di Walang Suji (Desa Kagok). Sunan Wanak Perih mempunyai putra Ampuh Surawijaya Sunan Kidak. Setelah Sunan Wanak Prih Meninggal dunia tahta kerajaannya diturunkan kepada Ampuh Surawijaya dan kerajaan dipindahkan dari Walang Suji ke Talaga.
Ampuh Sura Wijaya mempunyai putra bernama Sunan Pangeran Surawijaya, Sunan Ciburuy, diturunkan kepada putranya Dipati Suarga. Dari putra Dipati Suarga diturunkan kepada putranya Dipati Wiranata. Kemudian kerajaan itu diturunkan kepada putranya bernama Raden Saca Eyang hingga abad ke tujuh belas. Kerajaan dipindahkan (dihilangkan) karena penjajahan, dan pada waktu itu kerajaan di Talaga menjadi Kabupaten. Raden Saca Nata Eyang meninggalkan kepangkatannya. Diturunkan kepada putranya bernama Aria Secanata. Setelah itu Kabupaten dipindahkan ke Majalengka bertempat di Sindangkasih.
Waktu Kabupaten dipindahkan Bupati, Raden Sacanata menolak sampai dia pada waktu itu dipensiunkan. Dia mempunyai putra bernama Pangeran Sumanegara. Pangeran sumanegara mempunyai putri bernama Nyi Raden Angrek dan mempunyai suami bernama Kertadilaga putra pangeran Kartanegara, Kamboja. Dari Kartadiliga mempunyai putra bernama Natakusumah di Cikifai Talaga, sampai sekarang keturunanya masih ada, menjaga (memelihara) barang-barang kuno keturunan Raja Talaga. Barang-Barang kuno tersebut adalah Baju Kera, Arca, Gamelan, Tuah Meriam, Bedil Sundut, dan perkkas lainya yang sekarang masih ada.
Pemerintahan Kerajaan Talaga Manggung
Pemerintahan Batara Gunung Picung
Kerajaan Hindu di Talaga berdiri pada abad XIII Masehi, Raja tersebut masih keturunan Ratu Galuh bertahta di Ciamis, dia adalah putera V, juga ada hubungan darah dengan raja-raja di Pajajaran atau dikenal dengan Raja Siliwangi. Daerah kekuasaannya meliputi Talaga, Cikijing, Bantarujeg, Lemahsugih, Maja dan sebagian Selatan Majalengka. Pemerintahan Batara Gunung Picung sangat baik, agama yang dipeluk rakyat kerajaan ini adalah agama Hindu. Pada masa pemerintahaannya pembangunan prasarana jalan perekonomian telah dibuat sepanjang lebih 25 Km tepatnya Talaga - Salawangi di daerah Cakrabuana. Bidang Pembangunan lainnya, perbaikan pengairan di Cigowong yang meliputi saluran-saluran pengairan semuanya di daerah Cikijing. Tampuk pemerintahan Batara Gunung Picung berlangsung dua windu. Raja berputera enam orang yaitu :
Sunan Cungkilak,
Sunan Benda,
Sunan Gombang,
Ratu Panggongsong Ramahiyang,
Prabu Darma Suci, (Pengganti Batara Gunung Picung)
Ratu Mayang Karuna.
Kemudian pemerintahannya kemudian dilanjutkan oleh Prabu Darma Suci.
Pemerintahan Prabu Darma Suci
Disebut juga Pandita Perabu Darma Suci. Dalam pemerintahan raja ini Agama Hindu berkembang dengan pesat abad ke-XIII. Nama dia dikenal di Kerajaan Pajajaran, Mataram, Jayakarta sampai daerah Sumatera. Dalam seni pantun banyak diceritakan tentang kunjungan tamu-tamu tersebut dari kerajaan tetangga ke Talaga, apakah kunjungan tamu-tamu merupakan hubungan keluarga saja tidak banyak diketahui. Peninggalan yang masih ada dari kerajaan ini antara lain Benda Perunggu, Gong, Harnas atau Baju Besi. Pada abad XIIX Masehi dia wafat dengan meninggalkan dua orang putera yakni Bagawan Garasiang dan Sunan Talaga Manggung
Pemerintahan Begawan Garasiang
Tahta untuk sementara dipangku oleh Begawan Garasiang namun dia sangat mementingkan kehidupan spiritual sehingga akhirnya tak lama kemudian tahta diserahkan kepada adiknya Sunan Talaga Manggung.Tak banyak yang diketahui pada masa pemerintahan raja ini selain kepindahan dia dari Talaga ke daerah Cihaur Maja.

Pemerintahan Sunan Talaga Manggung
Sunan Talaga Manggung merupakan raja yang terkenal sampai sekarang karena sikap dia yang adil dan bijaksana serta perhatian dia terhadap agama Hindu, pertanian, pengairan, kerajinan serta kesenian rakyat. Hubungan baik terjalin dengan kerajaan tetangga maupun kerajaan yang jauh, seperti misalnya dengan Kerajaan Majapahit, Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Cirebon maupun Kerajaan Sriwijaya. Dia berputera dua, yaitu Raden Pangrurah dan Ratu Simbarkencana. Raja wafat akibat penikaman yang dilakukan oleh suruhan Patih Palembang Gunung bernama Centang Barang. Kemudian Palembang Gunung menggantikan Sunan Talaga Manggung dengan beristrikan Ratu Simbar Kencana. Tidak beberapa lama kemudian Ratu Simbar Kencana membunuh Palembang Gunung atas petunjuk hulubalang Citrasinga dengan tusuk konde sewaktu tidur. Dengan meninggalnya Palembang Gunung, kemudian Ratu Simbarkencana menikah dengan turunan Panjalu bernama Raden Kusumalaya Ajar Kutamanggu dan dianugrahi delapan orang putera di antaranya yang terkenal sekali putera pertama Sunan Parung.
Pemerintahan Ratu Simbarkencana
Sekitar awal abad XIV Masehi, dalam tampuk pemerintahannya Agama Islam menyebar ke daerah-daerah kekuasaannya dibawa oleh para Santri dari Cirebon.juga diketahui bahwa tahta pemerintahan waktu itu dipindahkan ke suatu daerah disebelah Utara Talaga bernama Walangsuji dekat kampung Buniasih.Ratu Simbarkencana setelah wafat digantikan oleh puteranya Sunan Parung.

Pemerintahan Sunan Parung
Pemerintahan Sunan Parung tidak lama, hanya beberapa tahun saja. Hal yang penting pada masa pemerintahannya adalah sudah adanya Perwakilan Pemerintahan yang disebut Dalem, antara lain ditempatkan di daerah Kulur, Sindangkasih, Jerokaso Maja. Sunan Parung mempunyai puteri tunggal bernama Ratu Sunyalarang atau Ratu Parung. Putri Sunan Parung, yang bernama Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Santri yang menjadi penerus Kerajaan Sumedang Larang
Pemerintahan Ratu Sunyalarang
Sebagai puteri tunggal dia naik tahta menggantikan ayahandanya Sunan Parung dan menikah dengan turunan putera Prabu Siliwangi bernama Raden Rangga Mantri atau lebih dikenal dengan Prabu Pucuk Umum. Pada masa pemerintahannya Agama Islam sudah berkembang dengan pesat. Banyak rakyatnya yang memeluk agama tersebut hingga akhirnya baik Ratu Sunyalarang maupun Prabu Pucuk Umum memeluk Agama Islam. Agama Islam berpengaruh besar ke daerah-daerah kekuasaannya antara lain Maja, Rajagaluh dan Majalengka. Prabu Pucuk Umum adalah Raja Talaga kedua yang memeluk Agama Islam. Hubungan pemerintahan Talaga dengan Cirebon maupun Kerajaan Pajajaran baik sekali. Sebagaimana diketahui Prabu Pucuk Umum adalah keturunan dari prabu Siliwangi karena dalam hal ini ayah dia yang bernama Raden Munding Sari Ageung merupakan putera dari Prabu Siliwangi. Jadi pernikahan Prabu Pucuk Umum dengan Ratu Sunyalarang merupakan perkawinan keluarga dalam derajat ke-IV.Hal terpenting pada masa pemerintahan Ratu Sunyalarang adalah Talaga menjadi pusat perdagangan di sebelah Selatan. Ratu Sunyalarang saudara dengan Ratu Pucuk Umun suami Pangeran Santri.
Pemerintahan Rangga Mantri atau Prabu Pucuk Umum
Dari pernikahan Raden Rangga Mantri dengan Ratu Parung (Ratu Sunyalarang putri Sunan Parung, saudara sebapak Ratu Pucuk Umun suami Pangeran Santri) melahirkan enam orang putera yaitu Prabu Haurkuning, Sunan Wanaperih, Dalem Lumaju Agung, Dalem Panuntun, Dalem Panaekan. Akhir abad XV Masehi, penduduk Majalengka telah beragama Islam. Dia sebelum wafat telah menunjuk putera-puteranya untuk memerintah di daerah-daerah kekuasaannya, seperti halnya : Sunan Wanaperih memegang tampuk pemerintahan di Walagsuji; Dalem Lumaju Agung di kawasan Maja; Dalem Panuntun di Majalengka sedangkan putera pertamanya, Prabu Haurkuning, di Talaga yang selang kemudian di Ciamis. Kelak keturunan dia banyak yang menjabat sebagai Bupati.Sedangkan dalem Dalem Panaekan dulunya dari Walangsuji kemudian berpindah-pindah menuju Riung Gunung, Sukamenak, Nunuk Cibodas dan Kulur. Prabu Pucuk Umum dimakamkan di dekat Situ Sangiang Kecamatan Talaga.
Pemerintahan Sunan Wanaperih
Terkenal Sunan Wanaperih, di Talaga sebagai seorang Raja yang memeluk Agama Islam pun juga seluruh rakyat di negeri ini semua telah memeluk Agama Islam. Dia berputera enam orang, yaitu :
Dalem Cageur,
Dalem Kulanata,
Apun Surawijaya atau Sunan Kidul,
Ratu Radeya,
Ratu Putri,
Dalem Wangsa Goparana.
Diceritakan bahwa Ratu Radeya menikah dengan Arya Saringsingan sedangkan Ratu Putri menikah dengan putra Syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan bernama Sayid Faqih Ibrahim lebih dikenal Sunan Cipager. Dalem Wangsa Goparana pindah ke Sagalaherang, kelak keturunan dia ada yang menjabat sebagai bupati seperti Bupati Wiratanudatar I di Cikundul. Sunan Wanaperih memerintah di Walangsuji, tetapi dia digantikan oleh puteranya Apun Surawijaya, maka pusat pemerintahan kembali ke Talaga.
Putera Apun Surawijaya bernama Pangeran Ciburuy atau disebut juga Sunan Ciburuy atau dikenal juga dengan sebutan Pangeran Surawijaya menikah dengan putri Cirebon bernma Ratu Raja Kertadiningrat saudara dari Panembahan Sultan Sepuh III Cirebon.Pangeran Surawijaya dianungrahi 6 orang anak yaitu Dipati Suwarga, Mangunjaya, Jaya Wirya, Dipati Kusumayuda, Mangun Nagara, Ratu Tilarnagara. Ratu Tilarnagara menikah dengan Bupati Panjalu (Kerajaan Panjalu Ciamis) yang bernama Pangeran Arya Sacanata yang masih keturunan Prabu Haur Kuning. Pengganti Pangeran Surawijaya ialah Dipati Suwarga menikah dengan Putri Nunuk dan berputera dua orang, yaitu Pangeran Dipati Wiranata, Pangeran Secadilaga atau pangeran Raji. Pangeran Surawijaya wafat dan digantikan oleh Pangeran Dipati Wiranata dan setelah itu diteruskan oleh puteranya Pangeran Secanata, Raga Sari yang menikah dengan Ratu Cirebon mengantikan Pangeran Secanata. Arya Secanata memerintah ± tahun 1762; pengaruh V.O.C. sudah terasa sekali. Hingga pada tahun-tahun tersebut pemerintahan di Talaga diharuskan pindah oleh V.O.C. ke Majalengka. Karena hal inilah terjadi penolakan sehingga terjadi perlawanan dari rakyat Talaga.Peninggalan masa tersebut masih terdapat di museum Talaga berupa pistol dan meriam.
Situs Dan Budaya Nunuk Baru, sejarah berdirinya Kerajaan Talaga Manggung
Desa Nunuk Baru berada di wilayah Kecamatan Maja di sebelah Selatan  Kota Kabupaten Majalengka, sekaligus bisa menjadi jalur Alternatif dari Kota Majalengka Menuju Kecamatan Talaga dan Kecamatan Bantarujeg.Di Desa Nunuk Baru sendiri banyak makom keramat yang erat hubunganya dengan sejarah Kerajaan Talaga Manggung (sekarang Talaga) dan untuk kekinian adalah berdirinya Kota Majalengka, adapun Makam Keramat Tersebut di antaranya :
Makam Pajaten atau Pajatian ( Makam Ibu Arya Saringsingan ) 
Makam pajaten terletak disebelah barat Blok Nunuk dipinggir kali cisuluheun dilokasi sawah pajaten, Ibu Arya adalah asli putri lahiran Nunuk yang menjadi Istri Kedua (Selir) Raja Talaga yaitu Prabu Pucuk Umun. Adapun Hasil Pernikahan Prabu Pucuk Umun dengan Ibu Arya telah melahirkan Seorang Putra yang Bernama Raden Arya Saringsingan yang makamnya sekarang berlokasi di Desa Banjaran Girang. Raden Arya Saringsingan diangkat Oleh raja Talaga sebagai Senopati/Panglima tertinggi Kerajaan Talaga, yang mempunyai kesaktian Luar biasa dengan memegang senjata Tombak Naga Kaki Lima Centang Barang.
Makam Cileuweung ( Makam Hariyang Banga ) 
Makam cileuweung terletak di sebelah Barat Daya Blok Nunuk Desa Nunuk Baru. Hariyang Banga adalah Putra dari ibu Dewi Pangrenyep istri Raja Pajajaran, dicileuweung sendiri ada tiga makam keramat di antaranya makam Mbah Hariyang Banga, Makam Ibu Langensari, Makam Mbah Haji Kasakten. Dicileuweung sendiri dulunya ada sebuah sendang/kolam mata air yang sampai sekarang air tersebut sering dikeramatkan oleh sebagian masyarakat untuk maksud-maksud tertentu, di antaranya yang mempunyai Niat berkecimpung di dunia Pemerintahan.
Makam Kosambi (Makam Mbah Prabustika)
Makam kosambi terletak dilokasi sawah kosambi sebelah timur Blok Nunuk, Nama asli Mbah Prabustika adalah Mbah Jupri. Mbah Jupri adalah seorang kepala pemerintahan kerajaan yang ada dilokasi Nunuk, dia adalah seorang ulama yang dihormati dan mempunyai kesaktian sangat Tinggi. Singkat cerita Mbah Jupri ditangkap oleh musuh kemudian dikampa/jepit oleh jepitan minyak sampai dianggap telah meninggal tetapi ternyata waktu dibuka dia malah tertawa terbahak-bahak. Kemudian Mbah Jupri dihanyutkan kesungai yang sedang Banjir tetapi bukanya hanyut kehilir malah hanyut kearah Hulu, dan akhirnya semua musuh pada ketakutan, maka Mbah Jupri Mendapat gelar Prabustika yang dianggap dalam tubuhnya terdapat Mustika kesaktian.

Sejarah Kerajaan Dipa
Menurut Paul Michel Munos dalam Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Senanjung Malaysia, hal 401 dan 435, Empu Jamatka (maksudnya Ampu Jatmika) mendirikan pada tahun 1387, dia berasal dari Majapahit. Diduga Ampu Jatmika menjabat sebagai Sakai di Negara Dipa (situs Candi Laras)(Margasari). Ampu Jatmika bukanlah keturunan bangsawan dan juga bukan keturunan raja-raja Kuripan, tetapi kemudian dia berhasil menggantikan kedudukan raja Kuripan sebagai penguasa Kerajaan Kuripan yang wilayahnya lebih luas tersebut, tetapi walau demikian Ampu Jatmika tidak menyebut dirinya sebagai raja, tetapi hanya sebagai Penjabat Raja (pemangku). Penggantinya Lambung Mangkurat (Lembu Mangkurat) setelah bertapa di sungai berhasil memperoleh Putri Junjung Buih yang kemudian dijadikan Raja Putri di Negara Dipa.
Raja Putri ini sengaja dipersiapkan sebagai jodoh bagi seorang Pangeran yang sengaja dijemput dari Majapahit yaitu Raden Putra yang kelak bergelar Pangeran Suryanata I. Keturunan Lambung Mangkurat dan keturunan mereka berdua inilah yang kelak sebagai raja-raja di Negara Dipa. Menurut Tutur Candi, Kerajaan Kahuripan adalah kerajaan yang lebih dulu berdiri sebelum Kerajaan Negara Dipa. Karena raja Kerajaan Kahuripan menyayangi Empu Jatmika sebagai anaknya sendiri maka setelah dia tua dan mangkat kemudian seluruh wilayah kerajaannya (Kahuripan) dinamakan sebagai Kerajaan Negara Dipa, yaitu nama daerah yang didiami oleh Empu Jatmika. (Fudiat Suryadikara, Geografi Dialek Bahasa Banjar Hulu, Depdikbud, 1984)

Kerajaan Negara Dipa semula beribukota di Candi Laras (Distrik Margasari) dekat hilir sungai Bahan tepatnya pada suatu anak sungai Bahan, kemudian ibukotanya pindah ke hulu sungai Bahan yaitu Candi Agung (Amuntai), kemudian Ampu Jatmika menggantikan kedudukan Raja Kuripan (negeri yang lebih tua) yang mangkat tanpa memiliki keturunan, sehingga nama Kerajaan Kuripan berubah menjadi Kerajaan Negara Dipa. Ibukota waktu itu berada di Candi Agung yang terletak di sekitar hulu sungai Bahan (= sungai Negara) yang bercabang menjadi sungai Tabalong dan sungai Balangan dan sekitar sungai Pamintangan (sungai kecil anak sungai Negara). Kerajaan ini dikenal sebagai penghasil intan pada zamannya.

Raja Negara Dipa
Periode Raja-raja Kuripan yang tidak diketahui nama penguasa dan masa pemerintahannya. Kerajaan Kuripan ini disebutkan dalam Hikayat Banjar Resensi II.

Ampu Jatmaka gelar Maharaja di Candi, saudagar kaya dari Keling pendiri Negara Dipa tahun 1387 dengan mendirikan negeri Candi Laras di hilir kemudian mendirikan (atau menaklukan?) negeri Candi Agung di hulu di sebalik negeri Kuripan. Ampu Jatmaka sebagai penerus ayah angkatnya raja tua Kerajaan Kuripan [= raja negeri lama yang berdiri sebelumnya] yang tidak memiliki keturunan, tetapi Ampu Jatmaka mengganggap dirinya hanya sebagai Penjabat Raja. Ketiga negeri/distrik ini dan ditambah negeri Batung Batulis dan Baparada (= Balangan) yang muncul di dalam Hikayat Banjar Resensi II teks Cense, maka inilah wilayah awal Negara Dipa. Kemudian Empu Jatmika memerintahkan Tumenggung Tatahjiwa memperluas wilayah dengan menaklukan batang Tabalong, batang Balangan dan batang Pitap. Ia jua memerintahkan Arya Megatsari menaklukan batang Alai, batang Labuan Amas dan batang Amandit. Widuga wilayah inilah yang menjadi ibukota baru Tanjungpura di negara bagian Tanjungnagara (Kalimantan-Filipina).
Lambung Mangkurat [= logat Banjar untuk Lembu Mangkurat] bergelar Ratu Kuripan, putera Ampu Jatmika (sebagai Penjabat Raja). Ia berhasil memperluas wilayah kerajaan dari Tanjung Silat/Selatn sampai Tanjung Puting yaitu wilayah dari sungai Barito sampai sungai Seruyan.

Raden Galuh Ciptasari alias Putri Ratna Janggala Kadiri gelar anumerta Putri Junjung Buih [= perwujudan putri buih/putri bunga air menurut mitos Melayu] yaitu puteri angkat Lambung Mangkurat, diduga Ratu I ini berasal dari Majapahit yang disebut Bhre Tanjungpura. Menurut Pararaton, Bhre Tanjungpura Manggalawardhani Dyah Suragharini yang berkuasa 1429-1464 adalah puteri Bhre Tumapel II 1389-1427 [= abangnya Suhita] dengan istrinya Bhre Lasem V. Bhre Tanjungpura [= Bhre Kalimantan] dan Bhre Pajang III Sureswari 1429-1450 [= adik bungsu Manggalawardhani] keduanya menjadi istri Bhre Paguhan III 1400-1440 [= ayahnya Sripura] tetapi perkawinan ini tidak memiliki keturunan (menurut Pararaton). Diduga Bhre Tanjungpura menikah lagi dengan Bhre Pamotan I Rajasawardhana Dyah Wijayakumara. Menurut Prasasti Trailokyapuri Manggalawardhani adalah Bhre Daha VI 1464-1474 yakni ibu Ranawijaya (janda Sang Sinagara).
Rahadyan Putra alias Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa gelar anumerta Maharaja Suryanata [= perwujudan raja dewa matahari], suami Putri Junjung Buih yang dilamar/didatangkan dari Majapahit dengan persembahan 10 biji intan. Raja ini berhasil menaklukan raja Sambas, raja Sukadana/Tanjungpura, orang-orang besar/penguasa Batang Lawai (= sungai Kapuas), orang besar/penguasa Kotawaringin, orang besar Pasir, raja Kutai, orang besar Berau dan raja Karasikan. Menurut Hikayat Banjar Versi II, pasangan ini memperoleh tiga putera yakni Pangeran Suryawangsa, Pangeran Suryaganggawangsa dan Pangeran Aria Dewangsa [adi-vamsa = pengasas dinasti]. Ketiga putera ini memerintah di daerah yang berlainan (a) Undan Besar dan Undan Kuning, (b) Undan Kulon dan Undan Kecil (c) Candi Laras, Candi Agung, Batung Batulis dan Baparada [= Batu Piring?] serta Kuripan. Setelah beberapa lama memerintah [pada tahun 1464?] Putri Junjung Buih dan Maharaja Suryanata mengatakan hendak pulang ke tempat asalnya dan pemerintahan dilanjutkan oleh putera-puteranya.
Rajasawardhana alias Dyah Wijayakumara alias Sang Sinagara, yaitu putera sulung Bhre Tumapel III Dyah Kertawijaya 1429-1447. Dyah Wijayakumara [= Bhre Kahuripan VI] memiliki istri bernama Manggalawardhani Bhre Tanjungpura. Dari perkawinan itu lahir empat orang anak, yaitu Samarawijaya [= Bhre Kahuripan VII], Wijayakarana, [= Bhre Mataram V], Wijayakusuma (= Bhre Pamotan II), dan Ranawijaya (= Bhre Kertabhumi= Kartapura?= Tanjungpura?).
Aria Dewangsa putera bungsu Putri Junjung Buih dengan Maharaja Suryanata (Hikayat Banjar versi II), menikahi Putri Mandusari alias Putri Huripan [yang ibunya meninggal ketika melahirkannya] gelar Putri Kabu Waringin [karena minum air susu kerbau putih yang diikat di pohon beringin] yaitu puteri dari Lambung Mangkurat (= Ratu Kuripan) dengan Dayang Diparaja.
Raden Sekar Sungsang, cucu Putri Junjung Buih dan juga cucu Lambung Mangkurat adalah putera dari pasangan Pangeran Aria Dewangsa dengan Putri Kabu Waringin menurut Hikayat Banjar versi II, tetapi menurut Hikayat Banjar versi I adalah cicit Putri Junjung Buih dan juga cicit Lambung Mangkurat. Menurut versi II, Raden Sekar Sungsang [= Panji Agung Rama Nata] pernah merantau ke Jawa [dan diduga sudah memeluk Islam] dan di Jawa ia mengawini wanita setempat dan memperoleh dua putera bernama Raden Panji Dekar dan Raden Panji Sekar [yang kemudian bergelar Sunan Serabut karena menikahi puteri Raja Giri]. Sunan Serabut dari Giri inilah yang menuntut upeti kepada Putri Ratna Sari gelar Ratu Lamak (puteri dari Raden Sekar Sungsang dengan Putri Ratna Minasih yang menggantikannya sebagai raja). Ratu Lamak kemudian digantikan adiknya Ratu Anom yang pernah ditawan ke Jawa karena gagal membayar upeti. Menurut Hikayat Banjar versi I, ibu Raden Sekar Sungsang yaitu Putri Kalungsu alias Putri Kabu Waringin, permaisuri Maharaja Carang Lalean (= Aria Dewangga?) sempat menjadi wali raja ketika Raden Sakar Sungsang masih berumur enam tahun sewaktu Maharaja Carang Lalean (= Raden Aria Dewangsa?) mengatakan bahwa ia hendak pulang ke tempat asalnya (dan jika raja ini putera Manggalawardhani maka kemungkinan kepulangannya ke tempat asal/Majapahit untuk membantu kakaknya Samarawijaya berperang melawan pamannya Raja Majapahit?). Maharaja Carang Lalean kemudian melantik Lambung Mangkurat sebagai pemangku. Pada masa Maharaja Sari Kaburungan alias Raden Sekar Sungsang, putera dari Putri Kabu Waringin alias Putri Kalungsu, untuk menghindari bala bencana ibukota kerajaan dipindahkan dari Candi Agung (Amuntai) karena dianggap sudah kehilangan tuahnya, pusat pemerintahan dipindah ke arah hilir pada percabangan anak sungai Bahan yaitu Muara Hulak yang kemudian diganti menjadi Negara Daha (sekarang kecamatan Daha Selatan) sehingga kerajaan disebut dengan nama yang baru sesuai letak ibukotanya ketika dipindahkan yaitu Kerajaan Negara Daha. Nama sungai Bahan pun berganti menjadi sungai Negara.
Sistem Pemerintahan

        Pada abad ke 14 muncul Kerajaan Negara Daha yang memiliki unsur-unsur Kebudayaan Jawa akibat dari pendangkalan sungai di wilayah Negara Dipa. Sebuah serangan dari Jawa menghancurkan Kerajaan Negara Dipa ini. Pada masa Maharaja Sari Kabungaran alias Raden sekar Sungsang, putera dari Putri Kabu Waringin alias Putri Kalungsu, untuk menghindari bala bencana ibukota dipindahkan dari Candi Agung karena dianggap sudah kehilangan tuahnya, untuk menyelamatkan dinasti baru pimpinan Maharaja Sari Kaburangan segera naik tahta dan memindahkan pusat pemerintahan ke arah hilir pada percabangan anak Sungai Bahan yaitu Muara Hulak. Negara Dipa terhindar dasi kehancuran total, bahkan dapat menata diri menjadi besar yang kemudian diganti dengan nama Negara Daha sehingga kerajaan disebut dengan nama yang baru sesuai dengan letak ibukotanya ketika dipindahkan yaitu Kerajaan Negara Daha. Nama sungai Bahan pun berganti menjadi Sungai Negara (Sungai Nagara).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kerajaan-kerajaan Hindu