Peninggalan Kerajaan Hindu di Indonesia
Peninggalan Kerajaan-kerajaan Hindu
1. Peninggalan
Kerajaan Kutai
Prasasti
Yupa
Peninggalan Kerajaan
KutaiPrasasti Yupa merupakan salah satu dari peninggalan Kerajaan Kutai tertua
dan benda ini menjadi bukti sejarah dari Kerajaan Hindu di Kalimantan tersebut.
Ada 7 prasasti Yuoa yang masih bisa dilihat hingga kini. Yupa merupakan tiang
batu yang dipakai untuk mengikat kurban hewan ataupun manusia yang
dipersembahkan pada para Dewa dan pada tiang batu tersebut terdapat tulisan
yang dipahat. Tulisan-tulisan tersebut ditulis memakai bahasa sansekerta atau
huruf Pallawa. Namun dari ketujuh Prasasti Yupa tersebut tidak ada yang
disertai dengan tahun pembuatannya sehingga tidak diketahui dengan pasti
tanggal pembuatan prasasti tersebut.
Prasasti Yupa berisi
tentang kehidupan politik. Pada prasasti pertama menceritakan tentang raja
pertama Kerajaan Kutai yakni Kudungga yang merupakan nama asli Indonesia dan
memperlihatkan jika ia bukan pendiri dari keluarga kerajaan. Pada Yupa juga
tertulis jika di masa pemerintahan Asmawarman, di Kerajaan Kutai mengadakan
upacara Aswamedha dan ini adalah upacara pelepasan kuda sebagai penentu batas
wilayah Kerajaan Kutai. Kudungga memiliki seorang putra terkenal bernama
Aswawarman dan ia mempunyai 3 orang putra terkenal persis seperti tiga api
suci.
Dari ketiga putranya
tersebut, Mulawarman menjadi anak yang paling terkenal karena sangat tegas,
kuat sekaligus sabar dan mahar untuk raja dipersembahkan kurban Bahu
Suwarnakam. Di masa pemerintahan Raja Mulawarman, Kerajaan Kutai mencapai masa
keemasan dan sesudah pemerintahannya, tidak diketahui lagi siapa saja raja yang
memerintah karena sumber sejarah yang sangat terbatas. Mulawarman diabadikan
dalam salah satu Yupa sebab rasa dermawan yang dimilikinya sangat tinggi dengan
mempersembahkan 20 ribu ekor sapi pada kaum Brahman dan ia dikatakan sebagai
cucu dari Kudungga atau anak Aswawarman yang keduanya juga dipengaruhi oleh
budaya India.
Sementara isi Prasasti
Yupa mengenai kehidupan sosial diketahui jika abad ke-4 Masehi, di Kerajaan Kutai
masyarakat Indonesia sudah banyak menganut agama Hindu sehingga pola pengaturan
kerajaan juga sudah sangat teratur seperti pemerintahan kerajaan di India. Ini
memperlihatkan jika kehidupan sosial pada masa Kerajaan Kutai sudah berkembang
mengikuti jaman dan masyarakat Indonesia juga sudah mulai menerima unsur dari
india kemudian dikembangkan menyesuaikan dengan tradisi yang ada di Indonesia.
Saat Raja Mulawarman memberikan hadiah berupa seribu ekor lembu dan juga 1
batang pohon kelapa pada Sang Brahmana yang berbentuk seperti api pada tempat
pengorbanan di tempat yang sudah diberkati yakni Vaprakeswara karena budi
baiknya tersebut maka tiang upacara peringatan dibuat oleh para pendeta yang
berkumpul disitu.
Isi Prasasti Yupa
mengenai aspek kehidupan berbudaya di kebudayaan masyarakat Kutai sangat erat
dengan agama yang mereka anut dan prasasti Yupa tersebut merupakan hasil budaya
dari masyarakat Kutai, tugu batu tersebut adalah warisan budaya nenek moyang
bangsa Indonesia pada jaman Meghalitikum yakni kebudayaan Menhir. Pada salah
satu Prasasti Yupa disebutkan tempat suci dengan Vaprakecvara yang merupakan
lapangan berukuran luas sebagai tempat pemujaan dewa Siwa dan memperlihatkan
jika agama Hindu yang dianut adalah Hindu Siwa. Ini semakin diperkuat karena
pengaruh besar dari Kerajaan Pallawa yang juga beragam Siwa serta peran penting
Brahmana di Kerajaan Kutai juga sangat besar seperti peranan Brahmana pada
agama Siwa.
Bukti lain yang
memperlihatkan kejayaan Kerajaan Kutai dari segi ekonomi adalah tertulis di
dalam salah satu Yupa, jika Raja Mulawarman sudah sering menggelar upacara
korban emas yang sangat banyak dan juga terlihat dari munculnya golongan
terdidik. Golongan terdidik ini terdiri dari kesatria dan juga brahmana yang
diprediksi sudah melakukan perjalanan jauh sampai ke India dan juga beberapa
tempat penyebaran agama Hindu di kawasan Asia Tenggara. Kaum ini mendapatkan
kedudukan serta perilaku yang terhomat pada sistem pemerintahan Kerajaan Kutai.
Sedangkan isi Yupa yang
menceritakan tentang kehidupan agama menjelaskan jika Kerajaan Kutai, agam
Hindu sangat berkembang khususnya pada masa pemerintahan Raja Asmawarman.
Perkembangan agama Hindu di Kerajaan Kutai ditandai dengan tempat suci bernama
Waprakeswara yang merupakan tempat suci untuk menyembah Dewa Syiwa. Walau agama
Hindu adalah agam resmi dari Kerajaan Kutai, namun hanya berkembang di wilayah
istana saja, sementara masyarakat Kutai masih memakai kebudayaan asli mereka
dan menganut kepercayaan Kaharingan.
Kaharingan merupakan
kepercayaan yang dianut masyarakat asli Dayak yaitu menyembah Ranying Hatalla
Langit yang sudah menciptakan alam semesat dan penganut Kaharingan juga
menggelar upacara pembakaran mayat seperti Ngaben dalam agama Hindau sehingga
pada tanggal 20 April 1980, Kaharingan masuk ke dalam bagian agama Hindu.
Ketopong
Sultan
Peninggalan Kerajaan
KutaiKetopong merupakan mahkota Sultan Kerajaan Kutai yang terbuat dari emas
dengan bobot 1.98 kg yang sekarang tersimpan di Museum Nasional Jakarta.
Ketopong Sultan Kutai ini ditemukan pada tahun 1890 di daerah Muara Kaman,
Kutai Kartanegara, sementara yang dipajang di Museum Mulawarman merupakan
Ketopong tiruan. mahkota ini pernah dipakai oleh Sultan Aji Muhammad Sulaiman
dari tahun 1845 sampai 1899 dan juga dikenakan oleh Sultan Kutai Kartanegara,
selain terbuat dari emas, mahkota ini juga dilengkapi dengan permata.
Ketopong berbentuk
mahkota brunjungan dan pada bagian muka berbentuk meru bertingkat berhias motif
spiral dikombinasikan dengan motif sulur. Pada bagian belakang mahkota terdapat
hiasan berbentuk garuda mungkur berhias motif bunga, burung dan kijang. Carl
Bock yang merupakan penulis dan juga penjelajah, dalam bukunya yang berjudul
The Head Hunters of Borneo menulis jika Sultan Aji Muhammad Sulaiman mempunyai
6 sampai 8 orang pengukir emas yang secara khusus membuat ukiran emas serta
perak untuk Sultan.
Kalung
Ciwa
Peninggalan Kerajaan
Kutai selanjutnya adalah kalung ciwa. Kalung Ciwa merupakan peninggalan
berikutnya dari Kerajaan Kutai yang berhasil ditemukan di masa pemerintahan
Sultan Aji Muhammad Sulaiman pada tahun 1890 oleh salah satu penduduk sekitar
Danau Lipan, Muara Kaman. Kalung Ciwa sampai saat ini masih dipergunakan untuk
perhiasan kerajaan dan sudah pernah dipakai Sultan pada masa penobatan Sultan
yang baru.
Kalung
Uncal
Peninggalan Kerajaan
KutaiKalung Uncal merupakan kalung yang terbuat dari emas seberat 170 gram
berhiaskan liontin dengan relief cerita Ramayana. Kalung ini digunakan sebagai
atribut Kerajaan Kutai Martadipura dan dipakai oleh Sultan Kutai Kartanegara
sesudah Kutai Martadipura berhasil ditaklukan. Dari penelitian yang sudah
dilakukan, Kalung Uncal berasal dari india dengan nama Unchele dan masih ada 2
Kalung Uncal di dunia yang berada di India dan juga di Museum Mulawarman, Kota
Tenggarong. Kalung ini berbentuk buklat dengan panjang 9 cm yang terbuat dari
emas 18 karat. Pada kalung ini juga terdapat ukiran Dewi Sinta serta Sri Rama
yang sedang memanah babi. Selain itu juga terdapat 4 buah bulatan dan 2
diantaranya dihiasi dengan batu permata. Kalung ini juga menjadi penentu sah
atau tidaknya pelantikan Raja Kutai.
Ada 2 kali Raja Kutai
bisa memakai Kalung Uncal ini yaitu pada saat penobatan dan juga pernikahan dan
tidak ada satu orang pun yang boleh memakai kalung ini selain Sultan atau Raja.
Saat kalung akan dikeluarkan, maka dilakukan prosesi ritus tertentu seperti
bakar kemenyan dan juga membacakan matra yang disebut dengan basawai. Konon
dikabarkan jika Kalung Uncal yang berasal dari India ini hanya ada sebanyak 2
pasang di dunai sebab hanya digunakan oleh Sri Rama dan juga Dewi Shinta. Pada
saat Sri Rama bisa merebut kembali Dewi Shinta istrinya dari Rahwana, maka ia
menjadi ragu apakah istrinya tersebut masih suci dan belum diganggu oleh
Rahwana. Kecurigaan Sri Raman ini beralasan, sebab Kalung Uncal yang menjadi
lambang kesucian sudah hilang dari leher Dewi Shinta.
Dewi Shinta merasa
maklum dengan keraguan dari Sri Rama suaminya tersebut, namun meskipun
kalungnya sudah hilang, dirinya masih tetap suci dan untuk membuktikannya, ia
minta dibuatkan api unggun paling besar untuk membakar dirinya untuk
membuktikan jika ia masih suci dan jika ia memang sudah ternoda, maka ia
mengatakan jika akan mati ditelan oleh Dewi Agni yang merupakan Dewi Api.
Rakyat Ayodiapala lalu mewujudkan permintaan tersebut, saat api dinyalakan
dihadapan Sri Rama dan juga pembesar Kerajaan Ayodiapala, Sinta naik ke tangga
menara yang sudah disiapkan. Saat sampai diatap menara, ia pun berkata pada
suaminya jika meski kalungnya sudah hilang namun ia masih suci dan jika memang
ia sudah ternoda, maka ia akan hangsu terbakar Dewi Agni. Akan tetapi jika
tidak, maka kanda melihat aku kembali pada kanda dan Dewi Shinta pun terjun ke
dalam api yang berkobar.
Shinta lalu ditelan
kobaran api dan tidak terlihat, akan tetapi beberapa saat kemudian, muncul dari
api sebuah singgasana yang naik dengan perlahan dan berhenti di depan Sri Rama
dan terlihat Dewi Shinta duduk sambil tersenyum memandang Sri Rama. Kalung ini
dikatakan merupakan kepunyaan dari Ratu Kudungga yakni ratu di India dan dari
cerita, jika kalung ini belum bisa menyatu dan kembali berdampingan, maka
selama itu juga India tidak bisa hidup dengan tenteram, makmur serta damai.
Bencana akan selalu melanda negeri tersebut dan juga kelaparan, perang serta
kemiskinan juga tidak akan pernah berhenti dan inilah yang dipercaya oleh
masyarakat India.
Kura
Kura Emas
Peninggalan Kerajaan
KutaiKura kura emas juga merupakan peninggalan dari Kerajaan Kutai yang
sekarang disimpan di Museum Mulawarman dengan ukuran setengah kepalan tangan.
Dari label yang tertera dalam etalase, benda ini ditemukan di daerah Long
Lalang yang merupakan daerah di hulu sungai Mahakam. Benda ini dikatakan
merupakan persembahan dari pangeran kerajaan di Cina untuk putri Raja Kutai
yakni Aji Bidah Putih. Pangeran memberikan beberapa benda unik lainnya untuk
kerajaan, sebagai bukti kesungguhannya yang ingin mempersunting putri.
Kura kura emas ini
dibuat dari emas 23 karat dengan bentuk kura kura yang juga digunakan sebagai
upacara penobatan Sultan Kutai Kartanegara. Kura kura ini menjadi simbol
penjelmaan Dewa Wisnu.
Pedang
Sultan Kutai
Peninggalan Kerajaan
Kutai selanjutnya adalah pedang sultan kutai. Pedang Sultan Kutai terbuat dari
emas padat dan pada bagian gagang diukir gambar seekor harimau yang sedang siap
untuk menerkam, sedangkan pada ujung sarung pedang berhiaskan seekor buaya dan
kini pedang Sultan Kutai disimpan di Museum Nasional Jakarta.
Tali
Juwita
Tali JuwitaTali Juwita merupakan peninggalan dari
Kerajaan Kutai yang mewakilkan simbol 7 muara serta 3 anak sungai yakni sungai
Kelinjau, Belayan dan juga Kedang Pahu di Sungai Mahakam. Tali Juwita ini
dibuat dari 21 hela benang dan biasanya dipakai pada upacara adat Bepelas.
Utasan tali ini terbuat
dari emas, perak dan juga perunggu dengan hiasan 3 bandul berbentuk gelang dan
2 buah permata mata kucing serta barjat putih dan untuk bandul lain berbentuk
lampion dengan hiasan 2 bandul berukuran kecil. Tali Juwita ini berasal dari
kata Upavita yaitu kalung yang diberikan pada raja.
Keris
Bukit Kang
Keris Bukit Kang
merupakan keris yang digunakan Permaisuri Aji Putri Karang Melenu yang
merupakan permaisuri Raja Kutai Kartanegara pertama. Dari cerita legenda, sang
permaisuri merupakan putri yang ditemukan pada sebuah gong yang hanyut di atas
balai bambu dan di dalam gong tersebut tidak hanya ada seorang bayi perempuan,
namun juga ada sebuah telur ayam dan keris yakni Keris Bukit Kang tersebut.
Peninggalan
Kerajaan Tarumanegara
Prasasti Ciaruteun
Prasati ini ditemukan
di tepi Sungai Ciarunteun, yakni dekat Sungai Cisadane Bogor. Didalamnya
menyebutkan nama Tarumanegara, Raja Purnawarman, dan lukisan sepasang kaki yang
diyakini sama dengan telapak kaki Dewa Wisnu. Adapun gamabar sepasang telapak
kaki yang berada di prasasti tersebut melambangkan kekuasaan raja atas daerah
tersebut dan kedudukan Purnawarman yang diibaratkan dewa Wisnu yang dianggap
sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat. Prasasti yang ditulis menggunakan
huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta 4 baris tersebut juga dikenal dengan Prasasti
Ciampea.
Prasasti
Kebon Kopi
Prasasti ini tergambar
bekas dua tapak kaki gajah yang diidentikkan dengan gajah Airawata, yakni gajah
tunggangan Dewa Wisnu. Prasasti yang ditemukan di Kampung Muara Hilir,
Kecamatan Cibungbulang juga ditulis dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta.
Prasasti
Tugu
Prasasti Tugu terdiri
dari 5 baris yang ditulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta yang
ditemukan di Tugu, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Prasasti Tugu berisi
tentang Raja Purnawarman yang memerintah untuk menggali saluran air Gomati dan
Chandrabaga sepanjang 6.112 tombak yang selesai dalam 21 hari.
Prasasti
Jambu
Prasasti yang ditemukan
di bukit Koleangkak Bogor ini berisi tentang sanjungan kebesaran, kegagahan,
dan keberanian Raja Purnawarman. Prasasti Jambu terukir sepasang telapak kaki
dan terdapat keterangan puisi dua baris dengan aksara Pallawa dan bahasa
Sanskerta.
Peninggalan
Kerajaan Kediri
Candi
Penataran
Candi termegah dan terluas di Jawa Timur ini terletak di lereng barat
daya Gunung Kelud, di sebelah utara Blitar, pada ketinggian 450 meter dpl. Dari
prasasti yang tersimpan di bagian candi diperkirakan candi ini dibangun pada
masa Raja Srengga dari Kerajaan Kediri sekitar tahun 1200 Masehi dan berlanjut
digunakan sampai masa pemerintahan Wikramawardhana, Raja Kerajaan Majapahit
sekitar tahun 1415.
Candi
Gurah
Candi Gurah terletak di kecamatan di Kediri, Jawa Timur. Pada tahun 1957
pernah ditemukan sebuah candi yang jaraknya kurang lebih 2 km dari Situs
Tondowongso yang dinamakan Candi Gurah namun karena kurangnya dana kemudian candi
tersebut dikubur kembali.
Candi Tondowongso
Situs Tondowongso merupakan situs temuan purbakala yang ditemukan pada
awal tahun 2007 di Dusun Tondowongso, Kediri, Jawa Timur. Situs seluas lebih
dari satu hektare ini dianggap sebagai penemuan terbesar untuk periode klasik
sejarah Indonesia dalam 30 tahun terakhir (semenjak penemuan Kompleks
Percandian Batujaya), meskipun Prof.Soekmono pernah menemukan satu arca dari
lokasi yang sama pada tahun 1957. Penemuan situs ini diawali dari ditemukannya
sejumlah arca oleh sejumlah perajin batu bata setempat.
Berdasarkan bentuk dan gaya tatahan arca yang ditemukan, situs ini
diyakini sebagai peninggalan masa Kerajaan Kediri awal (abad XI), masa-masa
awal perpindahan pusat politik dari kawasan Jawa Tengah ke Jawa Timur. Selama
ini Kerajaan Kediri dikenal dari sejumlah karya sastra namun tidak banyak
diketahui peninggalannya dalam bentuk bangunan atau hasil pahatan.
Arca
Buddha Vajrasattva
Arca Buddha Vajrasattva ini berasal dari zaman Kerajaan Kediri (abad
X/XI). Dan sekarang merupakan Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem,
Jerman.
Prasasti
Kamulan
Prasasti Kamulan ini berada di Desa Kamulan, Trenggalek, Jawa Timur.
Prasasti ini dibuat dan dikeluarkan pada masa pemerintahan Raja Kertajaya, pada
tahun 1194 Masehi, atau 1116 Caka. Melalui prasasti ini disebutkan bahwa hari
jadi dari Kabupaten Trenggalek sendiri tepatnya pada hari Rabu Kliwon, tanggal
31 Agustus 1194.
Prasasti
Galunggung
Prasasti Galunggung memiliki tinggi sekitar 160 cm, lebar atas 80 cm,
lebar bawah 75 cm. Prasasti ini terletak di Rejotangan, Tulungagung. Di
sekeliling prasasti Galunggung banyak terdapat tulisan memakai huruf Jawa kuno.
Tulisan itu berjajar rapi. Total ada 20 baris yang masih bisa dilihat mata.
Sedangkan di sisi lain prasasti beberapa huruf sudah hilang lantaran rusak
dimakan usia. Di bagian depan, ada sebuah lambang berbentuk lingkaran. Di
tengah lingkaran tersebut ada gambar persegi panjang dengan beberapa logo.
Tertulis pula angka 1123 C di salah satu sisi prasasti.
Prasasti
Jaring
Prasasti Jaring yang bertanggal 19 November 1181. Isinya berupa
pengabulan permohonan penduduk desa Jaring melalui Senapati Sarwajala tentang
anugerah raja sebelumnya yang belum terwujud.vDalam prasasti tersebut diketahui
adanya nama-nama hewan untuk pertama kalinya dipakai sebagai nama depan para
pejabat Kadiri, misalnya Menjangan Puguh, Lembu Agra, dan Macan Kuning.
Komentar
Posting Komentar